Tulang Punggung yang Terlupakan
Dia mencurahkan isi
hatinya kepadaku kemarin soal klub besar itu.
Klubnya memang besar dan memiliki
suporter fanatik.
Sekali menggelar laga home, klub bisa mendapat penghasilan
sekitar Rp 1 miliar.
Minimal pendapatan sekitar Rp 300 juta dikantongi di laga
home.
Sponsor juga berebut menyuntikan dananya ke klub itu dengan berbagai
kompensasi.
Pendapatan temanku
ini sangat lebih kecil dibandingkan pendapatan pemain.
Ada pemain yang terikat
kontrak diatas Rp 1 miliar semusim.
Bila tim menang atau seri, para pemain juga
mendapat tambahan bonus.
Diperkirakan nominal bonus minimal Rp 2,5 juta.
Nominal
bonus yang diterima pemain jauh di atas penghasilan temanku per bulan.
Perbedaan penghasilan
ini memang sangat disayangkan.
Temanku sudah empat tahun mengabdi di klub kebanggaannya
itu.
Dia rela berangkat sangat pagi, dan pulang dini hari demi membesarkan klub
yang sangat dicintainya.
Sebaliknya, pemain bisa datang dan pergi sesuka
hatinya.
Bila klub tidak memenuhi nominal kontrak yang dikehendaki, pemain bisa
memilih klub lain yang memberi penawaran lebih tinggi.
'Ofisial
Sriwijaya FC Ancam Mogok Kerja Jika Gaji tak Dibayar'.
Itulah judul berita yang aku
baca tadi pagi.
Isi beritanya hampir sama dengan yang dialami temanku.
“Gaji
kita kecil, ada yang Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per bulan. Jadi kalaupun
ditotal gaji setiap orang itu sekitar Rp 12 juta untuk enam bulan.
Jauh berbeda
dengan para pemain yang bisa dapat uang seperti itu hanya dalam waktu setengah
bulan saja.
Bukan ingin membanding-bandingkan.
Tapi kenyataannya gaji sebesar
pemain itu bisa terbayarkan, lalu kenapa gaji kita seolah dilupakan,” kata
ofisial Sriwijaya FC.
Mayoritas
klub profesional di Indonesia dikelola oleh perusahaan.
Nasib para ofisial klub
tidak berbeda dengan pegawai di perusahaan lain.
Jumlah mereka memang
mayoritas.
Tapi pendapatan kaum mayoritas ini masih kalah dengan pendapatan
kaum minoritas.
Bahkan sekalipun pendapatannya kaum mayoritas digabung belum
tentu sebanding dengan pendapatan kaum minoritas.
Perannya
seperti terabaikan.
Media massa jarang mengungkap keterlambatan pembayaran gaji
para offisial, kecuali bila tunggakannya sudah lama.
Bahkan suporter tim pun
kadang lebih peduli bila gaji pemain lancar daripada mempertanyakan gaji
ofisial yang terhambat.
Padahal para ofisial sangat menggantungkan hidupnya
pada penghasilan per bulan itu.
Mereka belum tentu memiliki tabungan, karena
pendapatannya hanya cukup memenuhi kebutuhan hidupnya per bulan.
Aku
sering membayangkan bila klub tidak memiliki ofisial.
Atau para ofisial
kompak mogok massal.
Apa pemain mau mengangkut kebutuhan lainnya ke lapangan
atau stadion?
Atau manajemen mau meng-up load berita klub ke website-nya?
Atau saat
mobilnya masuk dan tidak ada juru parkir, manajemen mau mengurus dan mengatur
parkir sendiri?
Memang
ada yang mengatakan ini bagian dari roda kehidupan.
Ada yang berada di atas,
dan ada pula yang berada di bawah.
Ada yang pendapatannya sampai puluhan juta
per bulan, ada pula yang pendapatannya hanya ratusan ribu per bulan.
Hidup
seakan tidak adil.
Aku sangat kagum pada seorang ofisial di Arema Cronous.
Aku
tidak tahu pendapatannya per bulan.
Aku yakin pendapatannya tidak berbeda
dengan ofisial lain.
Tapi dia tidak pernah mengeluhkan nasib yang dialaminya.
Dia
selalu menjalankan pekerjaannya dengan rajin dan tekun.
Bahkan dia sering
bekerja 24 jam dalam sehari.
Setiap kali aku memandang dia bekerja, pikiran ‘dimana
keadilan Tuhan?’ selalu muncul di benakku.
Orang itu rajin dan giat, tapi hidupnya
sangat jauh dari kemapanan.
Sebaliknya, orang yang kerjanya hanya sekitar dua
sampai tiga jam per hari, tapi pendapatannya sudah puluhan juta rupiah.
Comments
Post a Comment