Tulang Punggung yang Terlupakan

Sudah empat tahun ini temanku menjadi ofisial di sebuah klub Liga Super Indonesia (LSI) 2012/2013.

Aku tidak menyebut nama klub atau nama temanku agar dia tidak risau.

Aku khawatir menyebut nama akan mengancam masa depannya.

Apalagi kalau dia membatalkan niatnya.

Dia mencurahkan isi hatinya kepadaku kemarin soal klub besar itu.

Klubnya memang besar dan memiliki suporter fanatik.

Sekali menggelar laga home, klub bisa mendapat penghasilan sekitar Rp 1 miliar.

Minimal pendapatan sekitar Rp 300 juta dikantongi di laga home.

Sponsor juga berebut menyuntikan dananya ke klub itu dengan berbagai kompensasi.

Dia ingin keluar dan tidak mau lagi terlibat membesarkan nama klub itu.

Kebutuhan pragmatis menjadi alasan utama.

Dia ingin melanjutkan studi karena aktivitasnya di klub itu tidak menjanjikan masa depan.

Setiap bulan hanya mendapat honor sekitar Rp 500.000.

Setiap tim melakoni laga home, temanku itu juga mendapat pemasukan.

Tapi pemasukan yang diterimanya setiap laga home hanya sekitar Rp 50.000.

Pendapatan temanku ini sangat lebih kecil dibandingkan pendapatan pemain.

Ada pemain yang terikat kontrak diatas Rp 1 miliar semusim.

Bila tim menang atau seri, para pemain juga mendapat tambahan bonus.

Diperkirakan nominal bonus minimal Rp 2,5 juta.

Nominal bonus yang diterima pemain jauh di atas penghasilan temanku per bulan.

Perbedaan penghasilan ini memang sangat disayangkan.

Temanku sudah empat tahun mengabdi di klub kebanggaannya itu.

Dia rela berangkat sangat pagi, dan pulang dini hari demi membesarkan klub yang sangat dicintainya.

Sebaliknya, pemain bisa datang dan pergi sesuka hatinya.

Bila klub tidak memenuhi nominal kontrak yang dikehendaki, pemain bisa memilih klub lain yang memberi penawaran lebih tinggi.

Kejadian ini bukan hanya di klub tempat temanku mengisi waktunya.

Aku membaca berita soal Sriwijaya FC tadi pagi.

'Ofisial Sriwijaya FC Ancam Mogok Kerja Jika Gaji tak Dibayar'.

Itulah judul berita yang aku baca tadi pagi.

Isi beritanya hampir sama dengan yang dialami temanku.

“Gaji kita kecil, ada yang Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per bulan. Jadi kalaupun ditotal gaji setiap orang itu sekitar Rp 12 juta untuk enam bulan.

Jauh berbeda dengan para pemain yang bisa dapat uang seperti itu hanya dalam waktu setengah bulan saja.

Bukan ingin membanding-bandingkan.

Tapi kenyataannya gaji sebesar pemain itu bisa terbayarkan, lalu kenapa gaji kita seolah dilupakan,” kata ofisial Sriwijaya FC.

Mayoritas klub profesional di Indonesia dikelola oleh perusahaan.

Nasib para ofisial klub tidak berbeda dengan pegawai di perusahaan lain.

Jumlah mereka memang mayoritas.

Tapi pendapatan kaum mayoritas ini masih kalah dengan pendapatan kaum minoritas.

Bahkan sekalipun pendapatannya kaum mayoritas digabung belum tentu sebanding dengan pendapatan kaum minoritas.

Perannya seperti terabaikan.

Media massa jarang mengungkap keterlambatan pembayaran gaji para offisial, kecuali bila tunggakannya sudah lama.

Bahkan suporter tim pun kadang lebih peduli bila gaji pemain lancar daripada mempertanyakan gaji ofisial yang terhambat.

Padahal para ofisial sangat menggantungkan hidupnya pada penghasilan per bulan itu.

Mereka belum tentu memiliki tabungan, karena pendapatannya hanya cukup memenuhi kebutuhan hidupnya per bulan.

Aku sering membayangkan bila klub tidak memiliki ofisial.

Atau para ofisial kompak mogok massal.

Apa pemain mau mengangkut kebutuhan lainnya ke lapangan atau stadion?

Atau manajemen mau meng-up load berita klub ke website-nya?

Atau saat mobilnya masuk dan tidak ada juru parkir, manajemen mau mengurus dan mengatur parkir sendiri?

Memang ada yang mengatakan ini bagian dari roda kehidupan.

Ada yang berada di atas, dan ada pula yang berada di bawah.

Ada yang pendapatannya sampai puluhan juta per bulan, ada pula yang pendapatannya hanya ratusan ribu per bulan.

Hidup seakan tidak adil.

Aku sangat kagum pada seorang ofisial di Arema Cronous.

Aku tidak tahu pendapatannya per bulan.

Aku yakin pendapatannya tidak berbeda dengan ofisial lain.

Tapi dia tidak pernah mengeluhkan nasib yang dialaminya.

Dia selalu menjalankan pekerjaannya dengan rajin dan tekun.

Bahkan dia sering bekerja 24 jam dalam sehari.

Setiap kali aku memandang dia bekerja, pikiran ‘dimana keadilan Tuhan?’ selalu muncul di benakku.

Orang itu rajin dan giat, tapi hidupnya sangat jauh dari kemapanan.

Sebaliknya, orang yang kerjanya hanya sekitar dua sampai tiga jam per hari, tapi pendapatannya sudah puluhan juta rupiah.

Comments