Tak Terasa Sudah Tua

Setiap pulang ke Surabaya, aku selalu menyempatkan diri mengamati punggung tangan bapak dan ibuku.

Keriput kulitnya semakin terlihat jelas.

Maklum bapakku lahir pada tahun 1950, sedangkan ibuku lahir tahun 1956.

Sebagaimana orang seusianya, keriput sangat terlihat.

Apalagi orang tuaku bukanlah tipe orang yang suka berdandan.

Keriput kulitnya dibiarkan terlihat.

Aku lebih senang mengamati keriput di punggung tangan daripada di bagian tubuh lainnya, seperti kening atau leher.

Setiap kali mengamati keriput di punggung tangannya, aku selalu berpikir, "Tangan inilah yang membesarkan aku. Tangan ini pula yang menyebabkan aku bisa makan, dan mencuci lubang anusku saat aku masih kecil".

Aku yakin suatu saat keriput akan terlihat di punggung tanganku.

Kening, leher, dan bagian tubuh lain pasti akan dipenuhi keriput.

Sekarang usiaku sudah 30 tahun lebih.

Aku tidak tahu keriput sudah terlihat di wajahku sekarang atau belum.

Aku tidak pernah bercermin mengamati keriput di wajah.

Mungkin lima atau 10 tahun lagi, keriput sudah terlihat jelas di sebagaian tubuhku.

Terutama kening dan mata sebagai awal terlihatnya keriput.

Tidak terasa sudah 30 tahun aku menghirup udara di dunia.

Sudah banyak kulupakan apa saja yang sudah terjadi selama 30 tahun hidup di dunia ini.

Bayangan masa lalu samar-samar mampir di otakku.

Tapi aku tidak ingat pasti kapan kejadian itu terjadi.

Hanya sebagaian kecil memori yang bisa aku ingat.

Itu pun tidak sedetail saat kejadiannya baru saja terjadi.

Sejak dulu aku selalu mendambakan hidupku berguna bagi orang lain.

Alasan ini memang klasik.

Mayoritas orang pasti memiliki ambisi yang sama ketika ditanya cita-citanya.

Bahkan cita-cita seperti menjadi polisi, agamawan, dan sebagainya pun berdasar keinginan berguna bagi orang lain.

Tapi aku tidak mau menjadi polisi, militer, agamawan, atau politisi untuk mewujudkan ambisiku.

Di usiaku yang sudah 30 tahun ini, aku menyadari masih belum bisa mewujudkan ambisiku.

Ambisi itu baru ada di dalam doaku.

Aku tidak tahu ambisi itu bakal terealisasi atau tidak.

Sekalipun bisa terealisasi, aku tidak tahu berapa tahun lagi bakal terwujud.

Yang jelas aku berharap bisa memenuhi ambisi itu sebelum ajal menjemput.

Aku tidak mempermasalah bila ambisi itu tidak terwujud sampai ajal menjemput.

Aku hanya perlu mempersiapkan anak-anakku bisa mewujudkan ambisi itu.

Meskipun tidak semua anak-anakku bisa memenuhinya, minimal ada satu orang yang bisa mewujudkannya.

Comments