Sekolah: Antara Kebutuhan dan Pragmatisme

“Aku ingin libur sehari saja. Aku bosan sekolah. Sekolahnya terlalu lama.”

Pagi sekitar pukul 07.00 WIB. Seorang nenek duduk di hadapan cucunya yang masih berusia lima tahun.

Tangannya sibuk mengenakan baju ke cucunya.

Celana warna hijau, baju warna putih, dan peralatan sekolah tergeletak di lantai.

Sang cucu berdiri di hadapannya sambil menahan tangis.

Sesekali tangan sang cucu menyeka air mata yang mengalir di pipinya.

Penasaran, aku mengintipnya dari lubang jendela rumahnya.

Aku langsung bertanya kenapa menangis.

Sambil tetap konsentrasi mengenakan baju ke cucunya, sang nenek bercerita.

Cucunya sedang malas sekolah dan minta izin sehari saja.

Alasannya sekolahnya terlalu lama dan membosankan.

Baru Juni 2013 lalu bocah ini masuk sekolah.

Aku masih teringat saat dia pertama kali mengenakan baju seragamannya.

Dia bangga mengenakan seragam sekolah.

Seragam itu selalu dipamerkan ke tetangganya.

Setiap hari dia selalu bangun pagi dibandingkan biasanya.

Tanpa diperintah orang tua atau neneknya, si bocah langsung ke kamar mandi.

Si bocah pun selalu menurut dan bersikap tenang selama neneknya mengenakan semua atribut sekolah ke tubuhnya.

Pemandangan tadi pagi sangat berbeda dengan biasanya.

Tidak terlihat rasa bangganya mengenakan seragam sekolah.

Dia sangat enggan melangkahkan kaki menuju sekolah.

Sembab di matanya akibat tangisan masih terlihat jelas.

Tapi tangannya tetap berpegangan pada tangan neneknya.

Melihat perubahan sikap si bocah, aku membayangkan bagaimana bila anakku sekolah nanti.

Raut semangat pasti selalu terpancar sebelum daftar sekolah.

Semangat ini masih tetap ada pada hari pertama sekolah.

Lambat laun raut semangat ini sudah sirna.

Berangkat sekolah hanya asal-asalan.

Pemerintah mewajibkan setiap warga negara sekolah minimal sembilan tahun.

Berarti sebelum lulus SMP, warga negara dilarang tidak sekolah.

Kewajiban ini bukan berarti selama sembilan tahun harus selalu di sekolah.

Sekolah menetapkan jam sekolah mulai pukul 07.00 WIB sampai 13.00 WIB.

Maksimal pukul 16.00 WIB semua siswa sudah tidak ada kegiatan di sekolah.

Kecuali pada moment tertentu, kegiatan sekolah digelar pada malam hari.

Bagi pemerintah, sekolah sembilan tahun sangat pendek.

Tapi, bagi warga negara, sekolah selama sembilan tahun itu sangat lama.

Setiap hari hanya bertemu teman dan guru yang sama.

Mata pelajaran yang diperoleh pun hampir sama dengan pekan sebelumnya.

Model belajar sangat monoton.

Wahana permainan di sekolah pun hanya itu-itu saja.

Bahasa kasarnya, semua yang ada di sekolah sangat membosankan.

Guru harus kreatif menciptakan suasana belajar agar tidak membosankan.

Masalahnya, tidak semua guru bisa menciptakan suasana belajar sangat mengasyikan.

Selama 12 tahun menikmati bangku sekolah, aku merasa tidak ada perbedaan antara belajar di SD, SMP, atau SMA.

Perbedaan di setiap jenjang sekolah hanya guru, teman, dan lingkungan sekolah.

Suasana belajar-mengajar tidak berbeda jauh.

Aku baru bisa menikmati suasana belajar-mengajar saat duduk di bangku kuliah.

Sebenarnya suasana di dalam kelas tidak berbeda jauh dengan suasana saat SD sampai SMA.

Tapi aku masih bisa mempelajari pengetahuan lain di luar tuntutan kuliah.

Sebaliknya, belajar pengetahuan lain di luar sekolah seakan terlarang.

Pengetahuan selama SD sampai SMA harus sesuai dengan harapan dan permintaan guru.

Sekolah memang membosankan.

Aku sering membayangkan anakku tidak perlu sekolah.

Sekolah hanya membuang waktu dan tenaga.

Sekolah juga membatasi kreativitas dan menentukan pola pikirnya sendiri.

Semua pola di luar sekolah seakan dilarang berkembang.

Bahkan siswa yang memiliki pemikiran berbeda akan mendapat perlakuan sinis dari guru.

Tapi keinginanku ini terbentur kebutuhan sosial.

Di jaman sekarang, sekolah menjadi kebutuhan sebagaimana makan dan tidur.

Orang yang tidak sekolah dianggap tidak pintar dan masa depannya suram.

Pendidikan terakhir juga menentukan status seseorang.

Comments