Belajar dari Perjalanan Hidup BJ Habibie (2)
BJ
Habibie lulus dari Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1954.
Habibie
melanjutkan pendidikan di Universitas Teknologi Rhein Westfalen Aachen, Jerman.
Habibie sempat bekerja di Messerschmitt-Bolkow-Blohm saat masih di Jerman.
Dia baru
kembali ke Indonesia pada 1973 saat permintaan Presiden RI saat itu, Soeharto.
Habibie
dipercaya menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi lima tahun kemudian.
Habibie terus menduduki jabatan
ini sampai 1998 lalu.
Habibie kemudian dipercaya mendampingi Soeharto
sebagai wakil presiden.
Dua bulan kemudian, Habibie menjadi Presiden setelah
Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998.
“Tanyakan pada Soeharto sendiri
kenapa dia percaya pada saya,” kata Habibie.
Habibie
mengungkap cerita ini di hadapan peserta resepsi ulang tahun Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) di Gedung Usmar Said, Kuningan, Jakarta, Kamis (29/8/2013).
Berdasar
cerita yang disampaikan, Habibie seakan menjadi anak emas Soeharto.
Presiden
kedua Indonesia itu memberikan kebebasan pada Habibie untuk melakukan apapun.
Soeharto
hanya berpesan, "Kamu jangan membuat revolusi di Indonesia. Rakyat sulit
mengatasi revolusi. Rakyat hanya butuh ketentraman".
Dalam
perjalanan Indonesia, Habibie pantas menjadi pahlawan reformasi.
Era kebebasan
di Indonesia seakan dimulai di bawah kepemimpinannya.
Keran demokrasi terbuka
lebar.
Rakyat bebas menyampaikan aspirasinya.
Habibie pun mengungkap alasan pribadi
memberi sehingga memberi kebebasan pada rakyat menyampaikan aspirasinya.
Sebagai
presiden, Habibie biasa menerima laporan dari sekretaris atau institusi di bawah
kekuasannya.
Diperkirakan ada 10 lembaga yang rutin memberikan laporan.
Membaca
laporan dari 10 lembaga tidak membuat Habibie semakin memahami kondisi
Indonesia yang baru dipimpinnya.
Justru Habibie semakin bingung setelah membaca
laporan dari lembaga-lembaga tersebut.
Menurutnya, antara laporan satu dengan
laporan lainnya sering kontradiktif.
Kebebasan
menyampaikan aspirasi dibuka untuk mengurangi kebingungannya menyikapi
realitas.
"Biarkan rakyat menyampaikan aspirasinya sendiri," kata Habibie.
Tapi,
Habibie memberi batasan kepada rakyat yang ingin menyampaikan aspirasinya.
Penyampaian
aspirasi tidak boleh disertai tindakan perusakan dan pembunuhan.
Dua tindakan
ini termasuk kriminal.
Tidak masalah rakyat memiliki pendapat berbeda atau mengkritisi
kebijakan pemerintah.
Di antara
pemberian kebebasan berekspresi lainnya adalah pembebasan tahanan politik.
Sri Bintang Pamungkas, Budiman Sujatmiko, dan Muchtar Pakpahan termasuk dalam daftar tahanan politik yang bebas di era Habibie.
Bagi Habibie, tidak
ada istilah tahanan politik.
Tahanan hanya pantas untuk pelaku kriminal.
Boleh
dikatakan Habibie sangat nekat mengambil semua kebijakan diawal pemerintahannya.
Habibie tidak memiliki jaringan politik, dan militer.
Mayoritas hidupnya hanya
dihabiskan untuk penelitian dan mengembangkan teknologi.
Pasti banyak yang
memusuhi Habibie.
Sebaliknya, Soeharto memiliki dukungan di dua jalur itu.
Soeharto
memiliki background militer sehingga
mendapat dukungan dari militer.
Soeharto pun memiliki dukungan dari Golongan
Karya (Golkar) yang menjadi single majority
di parlemen.
Tapi kenapa Habibie mau melakukan semua hal itu?
Habibie
tidak lama menjadi presiden.
Masa jabatannya berakhir pada 20 Oktober 1999.
Abdurahman
Wahid menggantikannya melalui pemilihan di MPR.
Aku
tidak yakin Habibie akan terpilih kedua kalinya bila kembali mencalonkan atau
dicalonkan menjadi presiden.
Saat itu pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan
oleh MPR.
Negosiasi dan lobi politisnya lebih kencang dibandingkan pemilihan
oleh rakyat langsung.
Aku yakin Habibie akan terpilih kedua kalinya bila rakyat
mencoblos langsung.
Tapi bila sekarang kembali mencalonkan menjadi presiden, aku
tidak yakin Habibie akan terpilih lagi.
Setiap masa pasti ada warga negara terbaik yang
layak menjadi presiden.
Sekarang bukan eranya Habibie menjadi presiden.
Aku lebih
bangga melihat Habibie di posisinya sekarang.
Tidak terlibat dalam politik
aktif.
Semoga Habibie tidak tergiur kembali terjun ke politik.
Comments
Post a Comment