Rasa Trauma Itu Masih Ada

Melihat tautan foto di facebook seorang kawan di Bali.

Di foto itu terpampang sekitar lima ribu orang ikut tabligh akbar yang digelar Majelis Taklim Riyadlul Jannah dan GP Ansor di Lapangan Renon, Denpasar, Sabtu (24/8/2013).

Tidak ada masalah dengan penampilan foto itu.

Justru caption foto yang sangat provokatif.

Tanggapan dari posting itu pun beragam.

Bahkan ada berkomentar sinis.

Aku memahami rasa sentimen krama Bali kepada pendatang dari luar Bali.

Pendatang dianggap pembawa masalah di Bali.

Aku teringat pemerkosa pedofilia asal Lamongan bernama Suharto.

Dia menyetubuhi belasan (aku lupa angka pastinya) penduduk Bali.

Sebelum Suharto ditangkap Polda Bali, Suharto sempat membuat warga Bali tidak bisa tidur nyenyak.

Sebelum itu, dua bom Bali menimbulkan rasa trauma paling dalam.

Mayoritas warga Bali memandang pendatang asal Jawa secara sinis.

Bahkan setiap setelah Lebaran, aparat penegak hukum pasti merazia Terminal Ubung.

Tujuannya hanya satu: mencari pendatang yang tidak ber-KTP Bali.

Atau pendatang yang belum memiliki pekerjaan di Bali.

Aku menginjak tanah Bali pertama pada 5 Juni 2007 lalu.

Saat pertama kali melakukan kerja jurnalistik, aku naik angkot.

Karena angkot di Denpasar kurang diminati, aku sering duduk di samping sopir.

Beberapa sopir sempat aku tanya soal trauma dua bom di Bali.

Mayoritas sopir khawatir bom Bali akan terulang.

Bukan hanya sopir yang sempat aku tanyai seputar trauma bom Bali itu.

Beberapa warga lainnya pun sempat tanya hal yang sama.

Mereka masih trauma dan berharap tidak ada lagi bom di Bali.

Tapi, mereka yakin bahwa tidak semua warga Jawa benci dengan Bali.

Bahkan beberapa warga Bali yakin warga Jawa pun tidak setuju dengan pengeboman di Bali.

Tiga tahun tinggal di Bali, aku tidak pernah mendapat intimidasi atau teror karena identitasku, baik sebagai pendatang asal Jawa atau agamaku.

Hubunganku dengan orang yang kukenal di Bali pun tidak ada masalah.

Aku pun tidak ada dendam sedikitpun kepada penduduk Bali.

Bagiku, Bali adalah pulau yang pernah membentuk karakterku.

Apalagi aku belajar jurnalistik di Bali.

Krama Bali yang kukenal sangat ramah.

Tapi sulit mengatakan bahwa orang yang berpandangan sinis terhadap Tabligh Akbar itu bukan bagian dari krama Bali.

Aku tidak mau menggunakan kata ‘oknum’ untuk warga Bali yang sentimen.

Mereka yang sentimen adalah krama Bali yang masih trauma dengan pengeboman dua kali itu.

Aku memaklumi rasa sentimen akibat trauma itu.

Tidak mudah menghilangkan trauma dari kehidupannya.

Dampak pengeboman itu mengakibatkan trauma bagi seluruh warga Bali.

Bukan hanya penduduk asli Bali yang trauma.

Penduduk pendatang pun tidak mau ada bom lagi di Bali.

Bahkan selama di Bali, aku selalu berharap pengebom tidak pernah mampir di Pulau Dewata itu.

Comments