Pengadilan Bukan Segalanya
“Memang
sekarang jamannya orang dengan singkat mencari perhatian. Apa saja bisa jadi
perhatian dan populer. Ada karena lipsing di youtube bisa jadi bintang top."
"Ada
yang tidak mengenal satu artis, bisa jadi artis karena gonjang-ganjing
perkelahian, dan sebagainya. Itulah situasi yang berkembang saat ini."
Pernyataan ini keluar dari mulut pelatih Arema Cronous, Rahmad Darmawan (RD).
Dia menanggapi
pemberitaan yang dialami pemain Arema Cronous, Greg Nwokolo yang diduga
melakukan penganiayaan dan percobaan pemerkosaan.
Mendengar
statemen ini, aku teringat pepatah Arab kuno, "Kalau ingin terkenal, kencingi
saja sumur Zamzam".
Artinya perlu tindakan sensasional bila ingin menjadi orang
terkenal.
Tidak peduli terkenal itu dalam bentuk negatif atau positif.
Tidak peduli
keterkenalan itu akan berlangsung lama atau hanya sementara.
Yang penting orang
lain sudah mengenal pribadinya.
Terlepas dari
kepribadiannya, kasus yang menimpa Greg adalah sebagai cobaan.
Siapapun pasti
bisa menjadi pelaku atau korban.
Dalam kasus ini, belum bisa diputuskan siapa
yang menjadi pelaku atau korban.
Bisa saja Greg sebagai pelaku penganiayaan dan
percobaan pemerkosaan.
Atau bisa juga Greg sebagai korban wanita yang
melaporkan Greg ke polisi.
Hanya vonis pengadilan yang dapat membuktikannya.
Vonis pengadilan?
Aku lupa kalau hakim, pengacara, dan penegak hukum lainnya adalah manusia.
Mereka
memiliki sisi baik dan buruk.
Hakim, atau penegak hukum lainnya memang disumpah
sebelum menjalankan tugasnya.
Tapi tidak ada yang menjamin penegak hukum akan bertindak
adil dalam bertugas.
Intervensi pihak lain bisa mempengaruhi hasil akhir kasus.
Aku memang belum
pernah tersangkut masalah hukum.
Sudah puluhan cerita yang aku dengar soal
kebejatan aparat penegak hukum.
Saat masih duduk di bangku SMA dulu, sekitar
empat temanku pernah tertangkap polisi karena dilaporkan memeras siswa.
Polisi dari
polsek datang dan mengamannya.
Setelah beberapa hari mendekam di sel, polisi
membebaskannya.
Awalnya aku mengira
polisi melepaskannya karena mereka masih pelajar.
Saat aku pulang ke Surabaya, orang
tua temanku yang terjerat kasus itu bercerita.
Dia harus mengeluarkan uang
sebesar Rp 400.000 untuk membebaskan temanku.
Saat menjadi wartawan,
ada istilah ‘menyembelih’.
Istilah ini digunakan untuk menyebut penghentian kasus agar tidak
berlanjut ke pengadilan.
Aku tidak tahu istilah ini sudah akrab di dunia
kepolisian seluruh Indonesia atau belum.
Setahuku istilah ini tidak asing di
kepolisian Malang Raya.
Kebobrokan penegak
hukum inilah yang membuatku tidak pernah bersimpatik atau empati.
Bahkan saat
kabar penembakan sejumlah polisi di berbagai daerah, aku tidak bersimpati atau
empati.
Aku menganggap itu sebagai balasan atas kejahatan yang dilakukan
penegak hukum.
Tapi, aku tidak mengetahui polisi yang ditembak sampai meninggal
itu benar-benar bejat atau tidak.
Yang jelas secara pribadi, aku tidak pernah
peduli dengan apapun yang dialami lembaga polisi.
Sebagai manusia, aku sangat menyayangkan kekerasan yang dialami seseorang.
Termasuk pula kekerasan yang dialami wartawan atau demonstran.
Aku tidak
pernah percaya dengan vonis yang dialami seseorang.
Sekalipun keputusan itu
sudah inkrah, aku selalu berasumsi ada permainan sebelum keluarnya vonis itu.
Mungkin
ini masih asumsi.
Toh aku sendiri tidak pernah berkecimpung di dunia penegak
hukum.
Aku hanya mendengar dan mengetahuinya saja.
Comments
Post a Comment