Mitos Kemerdekaan Indonesia
Setelah lulus
dari SMA, aku tidak pernah ikut upacara bendera.
Bahkan saat kuliah, aku tidak
bisa membedakan antara hari kemerdekaan atau hari biasa.
Biasanya, aku malah demonstrasi
setiap peringatan hari kemerdekaan.
Isu yang diangkat pun cenderung monoton: warga
Indonesia belum sepenuhnya menikmati kemerdekaan.
Tingginya harga kebutuhan
pokok, masalah hubungan industrial yang merugikan buruh, dan sebagainya.
Aku libur
menjelang tanggal 17 Agustus.
Aku menghabiskan libur dengan melancong ke tempat
wisata atau memanjakan diri sendiri.
Kadang aku pergi dengan teman-temanku.
Kadang
aku pergi sendiri.
Aku tidak pernah peduli apa kata kemerdekaan.
Bagiku,
kemerdekaan adalah bisa menjadi diri sendiri tanpa terganggu urusan orang lain.
Sekarang aku semakin
tidak mengenal tanggal merah.
Tanggal 17 Agustus tetap masuk.
Aku dituntut tidak
membedakan antara tanggal merah dan tanggal hitam.
Semua tanggal di kalender adalah
hitam.
Tanggal merah hanya dikenal saat Idul Fitri.
Liburanya pun tidak sepekan
penuh seperti pekerja lain.
Aku hanya mendapat libur tiga hari.
Makanya keluargaku
sering heran, “Lebaran kok mudiknya
terlambat”.
Aku yakin bukan
hanya aku yang semakin jauh dari kemerdekaan.
Aku tidak sendiri.
Mayoritas orang
Indonesia tidak lagi mengenal kata kemerdekaan.
Mereka tidak pernah merasakan
sengsaranya dijajah Belanda, Jepang, Portugis, dan bangsa lain.
Mayoritas orang
yang pernah merasakan penjajahan sudah meninggal dunia.
Hanya sebagaian kecil yang
bisa membedakan antara hidup di bawah kepemimpinan bangsa lain dan di bawah
kepemimpinan bangsa sendiri.
Orang seperti aku hanya mendapat cerita dari mulut
ke mulut.
Kemerdekaan terasa
menjadi mitos perjalanan bangsa Indonesia.
17 Agustus 1945 hanya dikenal sebagai
bagian dari masa lalu.
Peringatan setiap tahun tak lebih hanya untuk memenuhi
kewajiban kenegaraan.
PNS, TNI, Polri, dan instansi pemerintah lainnya sibuk
mempersiapkan perayaan tahunan dengan meriah.
Instansi swasta pun tidak mau
ketinggalan.
Bahkan kaum awam pun sibuk menghias lingkungannya dengan beragam
atribut kemerdekaan.
Bendera merah putih dipasang di depan rumah.
Orang yang
tidak memasang bendera merah putih berarti tidak nasionalis.
Rasa nasionalisme
itu sudah hilang.
Gempuran pragmatisme semakin mengikis nasionalisme.
Warga negara
lebih mengurusi kebutuhan sehari-harinya daripada beretorika soal nasionalisme.
Munculnya nasionalisme sama dengan dukungan dalam pilkada.
Sikap ini muncul
hanya pada momen-momen tertentu.
Mereka tidak memikirkan harapan saat ikut
merayakan momen-momen ini.
Toh harapan dari warga sering kandas bersamaan
berakhirnya perayaan.
Comments
Post a Comment