Mitos Kemerdekaan Indonesia

Sudah 68 tahun Indonesia menyatakan diri merdeka.

Tapi baru usia delapan tahun aku ikut merayakan upacara bendera memperingati kemerdekaan Indonesia.

Saat duduk di bangku SD, aku tidak pernah absen ikut upacara bendera.

Saat duduk di bangku SMP dan SMA, aku mulai mulai jarang ikut upacara bendera kemerdekaan.

Sebab, pihak sekolah hanya menyeleksi siswa tertentu yang boleh ikut upacara bendera.

Setelah lulus dari SMA, aku tidak pernah ikut upacara bendera.

Bahkan saat kuliah, aku tidak bisa membedakan antara hari kemerdekaan atau hari biasa.

Biasanya, aku malah demonstrasi setiap peringatan hari kemerdekaan.

Isu yang diangkat pun cenderung monoton: warga Indonesia belum sepenuhnya menikmati kemerdekaan.

Tingginya harga kebutuhan pokok, masalah hubungan industrial yang merugikan buruh, dan sebagainya.

Saat berkeja di Bali, aku malah semakin tidak pernah tahu apa kata kemerdekaan.

Aku libur menjelang tanggal 17 Agustus.

Aku menghabiskan libur dengan melancong ke tempat wisata atau memanjakan diri sendiri.

Kadang aku pergi dengan teman-temanku.

Kadang aku pergi sendiri.

Aku tidak pernah peduli apa kata kemerdekaan.

Bagiku, kemerdekaan adalah bisa menjadi diri sendiri tanpa terganggu urusan orang lain.

Sekarang aku semakin tidak mengenal tanggal merah.

Tanggal 17 Agustus tetap masuk.

Aku dituntut tidak membedakan antara tanggal merah dan tanggal hitam.

Semua tanggal di kalender adalah hitam.

Tanggal merah hanya dikenal saat Idul Fitri.

Liburanya pun tidak sepekan penuh seperti pekerja lain.

Aku hanya mendapat libur tiga hari.

Makanya keluargaku sering heran, “Lebaran kok mudiknya terlambat”.

Aku yakin bukan hanya aku yang semakin jauh dari kemerdekaan.

Aku tidak sendiri.

Mayoritas orang Indonesia tidak lagi mengenal kata kemerdekaan.

Mereka tidak pernah merasakan sengsaranya dijajah Belanda, Jepang, Portugis, dan bangsa lain.

Mayoritas orang yang pernah merasakan penjajahan sudah meninggal dunia.

Hanya sebagaian kecil yang bisa membedakan antara hidup di bawah kepemimpinan bangsa lain dan di bawah kepemimpinan bangsa sendiri.

Orang seperti aku hanya mendapat cerita dari mulut ke mulut.

Kemerdekaan terasa menjadi mitos perjalanan bangsa Indonesia.

17 Agustus 1945 hanya dikenal sebagai bagian dari masa lalu.

Peringatan setiap tahun tak lebih hanya untuk memenuhi kewajiban kenegaraan.

PNS, TNI, Polri, dan instansi pemerintah lainnya sibuk mempersiapkan perayaan tahunan dengan meriah.

Instansi swasta pun tidak mau ketinggalan.

Bahkan kaum awam pun sibuk menghias lingkungannya dengan beragam atribut kemerdekaan.

Bendera merah putih dipasang di depan rumah.

Orang yang tidak memasang bendera merah putih berarti tidak nasionalis.

Rasa nasionalisme itu sudah hilang.

Gempuran pragmatisme semakin mengikis nasionalisme.

Warga negara lebih mengurusi kebutuhan sehari-harinya daripada beretorika soal nasionalisme.

Munculnya nasionalisme sama dengan dukungan dalam pilkada.

Sikap ini muncul hanya pada momen-momen tertentu.

Mereka tidak memikirkan harapan saat ikut merayakan momen-momen ini.

Toh harapan dari warga sering kandas bersamaan berakhirnya perayaan.

Comments