Menambah Pengetahuan di Karnaval

Karnaval sering mewarnai setiap peringatan Hari Proklamasi.

Biasanya karnaval digelar setiap kecamatan.

Kadang karnaval juga digelar di setiap kota.

Karnaval seakan menjadi hiburan yang paling ditunggu warga.

Bukan hanya saat peringatan Hari Proklamasi.

Bahkan saat hari besar lain pun warga menunggu karnaval.

Hari ini aku melihat karnaval warga Kecamatan Dau, Kabupaten Malang.

Warga memenuhi sepanjang jalan menuju Batu dari Kota Malang.

Mereka tidak mempedulikan panas matahari yang sedang terik.

Pesertanya mencapai ratusan.

Meskipun sangat kelelahan, mereka tetap antusias ikut karnaval sampai garis finish.

Sebenarnya aku kurang senang menyaksikan keramaian seperti karnaval.

Setiap ada anggota keluarga yang mengajak menyaksikan karnaval, aku memilih berdiam diri di rumah atau mencari hiburan lain.

Aku menilai rasa capek menyaksikan karnaval tidak sebanding dengan rasa puas yang kuperoleh.

Aku pun berasumsi suguhan karnaval tidak berbeda jauh dengan karnaval sebelumnya.

Artinya, penampilan peserta karnaval sangat monoton.

Aku baru sekali ikut karnaval.

Saat itu aku masih duduk di bangku SD di Kecamatan Sedayu, Gresik.

Aku tidak ingat saat kelas berapa aku ikut karnaval.

Sepekan sebelum pelaksanaan karnaval, guru berpesan agar aku membawa sorban berwarna putih.

Aku tidak diberi tahu akan menjadi apa dalam karnaval nanti.

Guru pun tidak memberitahukan peran yang akan aku lakoni.

Saat hari H, aku datang ke sekolah dengan membawa sorban.

Guru langsung mendandani aku layaknya biksu.

Ya aku memang berperan layaknya seorang biksu.

Perbedaannya aku tidak tampil plontos.

Aku pun tidak membayangkan akan berperan sebagai biksu.

Awalnya aku berpikir akan berperan menjadi seorang ulama.

Tapi aku tidak mempermasalahkan.

Bagiku, berperan menjadi ulama atau biksu sama saja.

Toh itu hanya peranan di karnaval.

Kita bisa menyaksikan beragam kebudayaan di karnaval ini.

Boleh dikatakan miniatur Indonesia ada di karnaval.

Bahkan miniatur pun bisa disaksikan di karnaval, meskpun porsinya lebih kecil.

Kita bisa menumbuhkan pengetahuan melalui karnaval.

Sesuatu yang awalnya tidak kita ketahui malah kita ketahui di karnaval.

Muncul tiga opsi dalam diriku setelah mengetahui sesuatu melalui karnaval.

Pertama, orang itu akan senang dengan sesuatu yang baru saja diketahui.

Kedua, orang itu akan sangat membencinya.

Ketiga, orang itu memilih apatis dengan hal baru itu.

Aku merasakan tiga opsi itu setiap melihat karnaval.

Warga Bali pernah menjadikan koruptor sebagai ogoh-ogoh, seperti Gayus Tambunan, dan Anas Urbaningrum.

Pembuatan ogoh-ogoh Anas sempat menimbulkan pro-kontra.

Apalagi saat itu Anas masih menjadi ketua umum Partai Demokrat dan terduga korupsi Hambalang.

Mencuatnya por-kontra ini semakin menumbuhkan rasa benciku terhadap politisi dan birokrasi.

Di sisi lain, aku pernah melihat karnaval peringatan Karbala yang diperingati setiap 10 Muharram.

Tapi aku belum pernah menyaksikan peringatan Karbala secara langung.

Aku hanya menyaksikan melalui televisi.

Aku pun salut dengan penganut agama yang rela menyakiti tubuhnya demi kepercayaannya.

Dalam karnaval tadi, aku juga menyaksikan orang memerankan Eyang Subur.

Paranormal ini sempat menghebohkan Indonesia karena diduga telah menipu sejumlah artis melalui ajaran sesatnya.

Istrinya lebih dari satu orang.

Melihat peranan Eyang Subur ini, aku memilih acuh tak acuh.

Pertama, aku tidak pernah menjadi korban Eyang Subur.

Kedua, korban Eyang Subur rata-rata orang yang biasa hidup hedonis.

Comments