Menambah Pengetahuan di Karnaval
Hari ini aku
melihat karnaval warga Kecamatan Dau, Kabupaten Malang.
Warga memenuhi sepanjang
jalan menuju Batu dari Kota Malang.
Mereka tidak mempedulikan
panas matahari yang sedang terik.
Pesertanya mencapai ratusan.
Meskipun sangat
kelelahan, mereka tetap antusias ikut karnaval sampai garis finish.
Aku baru sekali ikut
karnaval.
Saat itu aku masih duduk di bangku SD di Kecamatan Sedayu, Gresik.
Aku tidak ingat saat kelas berapa aku ikut karnaval.
Sepekan sebelum pelaksanaan
karnaval, guru berpesan agar aku membawa sorban berwarna putih.
Aku tidak
diberi tahu akan menjadi apa dalam karnaval nanti.
Guru pun tidak memberitahukan
peran yang akan aku lakoni.
Saat hari H, aku
datang ke sekolah dengan membawa sorban.
Guru langsung mendandani aku layaknya
biksu.
Ya aku memang berperan layaknya seorang biksu.
Perbedaannya aku tidak tampil
plontos.
Aku pun tidak membayangkan akan berperan sebagai biksu.
Awalnya aku berpikir
akan berperan menjadi seorang ulama.
Tapi aku tidak mempermasalahkan.
Bagiku, berperan
menjadi ulama atau biksu sama saja.
Toh
itu hanya peranan di karnaval.
Kita bisa menyaksikan
beragam kebudayaan di karnaval ini.
Boleh dikatakan miniatur Indonesia ada di
karnaval.
Bahkan miniatur pun bisa disaksikan di karnaval, meskpun porsinya
lebih kecil.
Kita bisa menumbuhkan pengetahuan melalui karnaval.
Sesuatu yang
awalnya tidak kita ketahui malah kita ketahui di karnaval.
Muncul tiga opsi dalam
diriku setelah mengetahui sesuatu melalui karnaval.
Pertama, orang itu akan
senang dengan sesuatu yang baru saja diketahui.
Kedua, orang itu akan sangat
membencinya.
Ketiga, orang itu memilih apatis dengan hal baru itu.
Aku merasakan
tiga opsi itu setiap melihat karnaval.
Warga Bali pernah menjadikan koruptor sebagai ogoh-ogoh, seperti Gayus
Tambunan, dan Anas Urbaningrum.
Pembuatan ogoh-ogoh
Anas sempat menimbulkan pro-kontra.
Apalagi saat itu Anas masih menjadi
ketua umum Partai Demokrat dan terduga korupsi Hambalang.
Mencuatnya por-kontra
ini semakin menumbuhkan rasa benciku terhadap politisi dan birokrasi.
Di sisi lain, aku
pernah melihat karnaval peringatan Karbala yang diperingati setiap 10 Muharram.
Tapi aku belum pernah menyaksikan peringatan Karbala secara langung.
Aku hanya
menyaksikan melalui televisi.
Aku pun salut dengan penganut agama yang rela
menyakiti tubuhnya demi kepercayaannya.
Dalam karnaval tadi, aku juga menyaksikan orang memerankan
Eyang Subur.
Paranormal ini sempat menghebohkan Indonesia karena diduga telah menipu
sejumlah artis melalui ajaran sesatnya.
Istrinya lebih dari satu orang.
Melihat
peranan Eyang Subur ini, aku memilih acuh tak acuh.
Pertama, aku tidak pernah menjadi
korban Eyang Subur.
Kedua, korban Eyang Subur rata-rata orang yang biasa hidup
hedonis.
Comments
Post a Comment