Mati Tanpa Tinggalkan Keluhan

Aku mendapat kabar kakak temanku meninggal di Tuban pagi tadi.

Aku belum pernah bertemu dengan orang yang meninggal itu.

Aku sempat mendengar bahwa usia almarhum tidak beda jauh denganku.

Mungkin dia masih berusia 38 tahun atau 40 tahun.

Dia sudah memiliki anak yang masih kecil.

Dia meninggal karena penyakit yang menggerogoti tubuhnya sejak beberapa tahun silam.

Badannya lumpuh.

Dia menghabiskan hidup terakhirnya di atas tempat tidur.

Kebaikan hati orang-orang di sekelilingnya yang membuat dia bertahan hidup.

Aktivitasnya mengandalkan bantuan anggota keluarganya, seperti makan, mandi, ganti pakaian, dan sebagainya.

Dipastikan sudah banyak uang habis untuk kesembuhannya.

Beberapa kali dia keluar-masuk RS untuk berobat.

Aku tidak tahu dari mana dia mendapat uang untuk pengobatan itu.

Seingatku, dia pernah meminjam uang kepada adiknya yang juga temanku.

Kematian datang tanpa permisi dan tidak bisa diprediksikan.

Mendengar kabar kematian kakak temanku itu, aku teringat ucapan filsuf Yunani yang dikutip Soe Hok Gie (1942-1969) dalam buku berjudul Catatan Seorang Demonstran.

“Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua.”

Kakak temanku yang belum berusia 50 tahun itu boleh dikatakan masih muda.

Andai ajal belum menjemputnya dan tidak sakit, aku yakin dia masih kuat bekerja.

Tenaganya masih dibutuhkan anak dan istrinya untuk mencari nafkah.

Tapi, ajal datang tanpa memandang kebutuhan orang lain.

Kembali ke kutipan Gie, orang yang meninggal seperti itu bukanlah orang bernasib baik.

Justru dia bernasib jelek.

Dia sudah menyusahkan orang lain di akhir hidupnya.

Orang lain pasti sangat sibuk meladeni kebutuhan hidupnya.

Bahkan orang lain rela tidak makan agar dia bisa mengunyah makanan.

Jutaan uang pun sudah habis dengan harapan dia bisa sehat kembali.

Setelah dia meninggal, keluarganya harus menanggung uang pinjaman untuk biaya pengobatan itu.

Bukan hanya beban utang yang harus ditanggung keluarga yang ditinggalkan.

Kebutuhan hidup anak dan istrinya pun harus dipikirkan anggota keluarga.

Terutama biaya sekolah anak yang rutin dibayarkan.

Sebenarnya bukanlah mati muda yang paling bernasib baik.

Mati muda seperti itu hanya meninggalkan beban bagi orang yang ditinggalkan.

Dia pasti tidak bisa memikirkan bagaimana mengembalikan utang atau memikirkan masa depan anaknya.

Mati muda atau mati tua bisa menjadi nasib baik atau nasib buruk.

Semua tergantung akhir sebelum orang itu meninggal.

Menurutku, nasib terjelek adalah mati dengan meninggalkan banyak beban pada orang yang ditinggalkan.

Sebaliknya, nasib terbaik adalah mati tanpa meninggalkan beban pada orang lain.

Seharusnya keluarga tidak perlu menerima dampak atau akibat dari perbuatan almarhum.

Hanya sedikit orang yang meninggal tanpa meninggalkan beban.

Itulah pentingnya menata hidup.

Seseorang harus memikirkan perbuatannya akan berdampak panjang atau tidak.

Minimal yang perlu dipikirkan adalah dampak perbuatannya akan berakhir sebelum dia meninggal.

Jadi, keluarga atau orang lain tidak menangung dampak akibat perbuatan yang tidak dilakukan.

Aku tidak peduli usia berapa akan meninggal.

Aku hanya ingin tidak ada beban yang harus ditanggung orang lain akibat perbuatanku.

Anak-anakku harus sudah mandiri sebelum aku meninggal.

Istri pun bisa makan dan bertahan hidup setelah aku meninggal.

Aku pun akan berupaya agar tidak menderita sakit panjang sebelum meninggal.

Sehingga saat di alam barzah, aku tidak disibukan dengan keluhan keluarga atau orang lain akibat perbuatanku.

Aku ingin mati dalam ketenangan!!!

Comments