Kenikmatan Hidup Tak Harus Diukur dari Harta

Aku bertugas di Dusun Sumberbendo, Desa Kucur, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Minggu (18/8/2013).

Aku tidak tahu lokasi Dusun Sumberbendo ada di berapa meter dari atas permukaan laut.

Yang jelas lokasinya ada di kawasan pegunungan.

Kota Malang dan Kota Batu terlihat jelas dari Dusun Sumberbendo.

Kedatanganku ke Dusun Sumberbendo untuk meliput lomba Agustusan.

Sebenarnya lomba di dusun ini tidak berbeda dengan lomba Agustusan di daerah lain.

Panjat pinang, tarik tambang, kepruk kendil, dan sebagainya.

Mungkin yang membedakan hanya keterlibatan tiga bule dari Amerika Serikat (AS), Spanyol, dan Inggris.

Mereka ikut serta dalam lomba tahunan ini.

Karena semua jalur tertutup, aku terpaksa memarkir motorku agak jauh dari lokasi lomba.

Aku sempat khawatir motorku akan dicuri atau dijahili warga.

Kekhawatiran ini muncul karena selama perjalanan aku melihat banyak motor bodong berkeliaran.

Aku berasumsi motor itu hasil curian.

Aku tidak memiliki bukti atas asumsiku ini.

Tapi aku melihat banyak motor protolan yang dipasangi nopol ala kadarnya.

Aku dihantui kegalauan selama berada di lokasi.

Helm-ku pun terpaksa aku pakai.

Aku menitipkan helm di motor temanku yang mudah terlihat.

Tapi aku tetap tidak bisa tenang.

Beberapa kali aku melihat ke arah motorku untuk memastikan masih berada di lokasinya.

Saat aku melihat motorku tertutup motor lain, aku semakin tak tenang.

Hati kecilku berusaha menenangkan dengan mengatakan, ‘Kalau memang hilang, berarti motor itu bukan rejekiku.’.

Dua jam akhirnya terlewati.

Aku berjalan menuju motor yang aku parkir untuk pulang.

Hatiku terasa plong setelah melihat motorku masih berada di lokasi.

Bukan hanya soal motor yang membuat aku kagum.

Penampilan warganya yang membuatku salut.

Mereka tampil seadanya.

Tidak ada yang mengenakan perhiasan mencolok.

Pakaian yang dikenakan pun tidak berbeda seperti orang desa saat berangkat ke sawah.

Bangunan rumahnya pun tidak ada yang mencolok.

Retakan tembok menghias di mayoritas rumah warga.

Perabotan rumahnya pun hanya sekedarnya.

Lemari reyot, kursi dipenuhi lubang, meja yang rapuh, dan lantai hitam penuh lubang.

Mereka seakan tidak memikirkan harta benda.

Ketua Karang Taruna Desa Kucur, Ariska mengatakan mayoritas warga Desa Kucur berasal dari kalangan menengah ke bawah.

Karang Taruna pun terpaksa tidak mengajak warga iuran untuk menggelar lomba Agustusan.

“Uang Rp 15.000 itu sudah sangat berharga bagi warga,” kata Ariska.

Itulah yang membuat aku senang hidup di pedesaan.

Desa adalah tempat kembali setelah melakoni aktivitas sehari-hari.

Desa penuh ketenangan. Arus kendaraan tidak sepadat di kota.

Bagi pemuda atau remaja, ketenangan desa sangat cocok untuk melamun.

Bagi sepasang kekasih, suasana desa saat cocok untuk berduaan tanpa menimbulkan rasa iri temannya yang jomblo.

Desa juga menjadi simbol perlawanan terlawanan terhadap pemerintah.

Mao Tsu Tung pernah menjadikan desa sebagai straegi menggulingkan pemerintahan nasionalis pimpinan Chiang Kai Shek.

Perlawanan di Indonesia pun banyak dilakukan dari desa, seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Tentunya perlawanan dari desa harus diimbangi dengan upaya lain dari kota.

Sayangnya lambat laun desa semakin tergerus.

Kebijakan pemerintah seakan ingin mengubah desa menjadi sama dengan kota.

Pengembang perumahan diizinkan masuk ke pedesaan.

Perusahaan penghasil limbah pun diberi wewenang mengembangkan bisnisnya di pedesaan.

Akses transportasi dimudahkan dengan alasan memudahkan masyarakat desa menjangkau kota.

Desa seperti kota nomor dua.

Aku tidak tahu berapa tahun lagi dusun-ku berubah menjadi kota.

Aku yakin suatu saat pembangunan akan merambah dusun.

Bahkan rumahku yang sekarang berada di tengah sawah akan berubah menjadi di tengah pabrik.

Saluran irigasi akan diganti sungai berisi limbah pabrik.

Sawah-sawah disulap menjadi gedung pencakar langit.

Perubahan ini akan berdampak pada pola pikir masyarakat.

Mereka dituntut menyeimbangkan diri dengan pola kehidupan industrialisasi.

Kadang aku tidak habis pikir dengan manusia penumpuk materi.

Mereka rela melakukan apapun demi mendapat harta sebanyak-banyak.

Suap atau korupsi pun dilakakukan.

Padahal pendapatannya selama sebulan sudah cukup untuk biaya hidupnya, anak, dan istrinya.

Bahkan pendapatannya sudah cukup untuk menjamin kehidupan cucunya.

Mereka pun pasti tahu bahwa harta tidak akan dibawa mati.

Manusia mati tanpa membawa harta yang sudah dikumpulkannya, baik dikubur di tanah, dibakar, atau ditaruh di tempat keramat lain.

Harta yang ditaruh di sekitar mereka tidak akan ada gunanya.

Hidup paling nikmat adalah hidup sederhana.

Tidak perlu rumah mewah, uang banyak, tanah ratusan meter persegi, atau simbol kemegahan lainnya.

Harta hanya membuat kehidupan tidak tenang.

Setiap hari hanya dipenuhi kegalauan menjaga hartanya.

Otaknya hanya berpikir cara agar hartanya tidak diambil orang lain.

Aku berusaha tidak memikirkan harta. Harta tetap harus dicari.

Tanpa adanya harta, manusia tidak bisa hidup.

Makan, minum, berteduh, dan sebagainya butuh harta.

Tapi, aku akan berusaha harta yang aku cari tidak menjadi beban hidupku.

Biarkan harta menjaga dirinya sendiri.

Aku hanya mencari dan menggunakannya sesuai kebutuhan.

Kalau memang tidak butuh, biarkan harta berada di tempat selayaknya.

Comments