Karma Politik

April 2014 nanti akan digelar pemilihan legislatif (pileg).

Tapi tidak ada satu pun petugas yang datang ke rumahku.

Di rumahku pun tidak ada stiker yang menunjukan bahwa anggota keluargaku sudah terdaftar sebagai pemilih.

Padahal di rumah tetanggaku sudah terpasang stiker dari KPU.

Untuk mencari jawabannya, aku mencoba membuka website KPU, www.kpu.go.id.

Namaku dan keluargaku memang tidak tercantum sebagai pemilih pileg di tempat domisiliku.

Justru namaku dan keluargaku masih tercantum di rumah Surabaya.

Memang ada stiker sebagai bukti sudah didata pemilihnya di rumah Surabaya.

Tapi dalam stiker itu hanya tertulis nama orang tua dan adikku.

Kakakku tidak tertulis di stiker itu karena sudah memiliki rumah sendiri.

Sesuai aturan KPU, pemilih yang tidak terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT) masih bisa menggunakan hak pilihnya.

Pemilih itu cukup datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dengan membawa KTP atau Kartu Keluarga (KK).

Aku tidak tahu bisa atau tidak menggunakan hak pilih.

Berdasar administrasi kependudukan, aku terdaftar sebagai warga Kabupaten Malang sejak tiga tahun lalu.

Saat mengurus perpindahan, aku sudah memastikan semua berkas sudah terpenuhi.

Bahkan petugas di Surbaya sudah memastikan seluruh berkas tentang aku terhapus.

Itulah yang membuat aku heran kenapa namaku masih terdaftar sebagai pemilih di Surabaya.

Aku memiliki hak pilih sejak tahun 1999.

Setiap ada event demokrasi, mulai tingkat RT sampai tingkat nasional, namaku selalu tercantum sebagai pemilih.

Ini adalah kali pertama namaku tidak diakui oleh negara sebagai pemilih.

Kepada anggota keluarga, aku sempat guyon akan mengurus agar tercantum sebagai pemilih.

Minimal di pemilihan gubernur (Pilgub) Jatim, 29 Agustus 2013 nanti.

Sambil guyon, keluargaku pun menjawab, "Percuma. Nanti belum tentu menggunakan hak pilih".

Aku memang tidak berniat menggunakan hak pilih dalam Pilgub, Pileg, maupun pemilihan presiden (Pilpres) nanti.

Sebagaimana kebiasaanku tahun-tahun sebelumnya, aku berdiam diri di rumah atau memanjakan diri lebih nikmat daripada datang ke TPS untuk menyalurkan hak pilih.

Aku menganggap kasus ini sebagai karma atas diriku.

Sebelumnya aku seakan tidak mengakui negara.

Sekarang negara yang tidak mengakui aku sebagai penduduknya.

Bukan hanya saat pemilihan yang membuat aku enggan menggunakan hak.

Saat kampanye pun aku tetap enggan datang ke lokasi kampanye.

Padahal menurut informasi yang aku terima, kandidat pasti akan memberikan uang.

Berita dari Tulungagung hari ini membuktikan informasi itu.

Aku masih memandang politik secara negatif.

Politik dan instrumen yang ada di sekitarnya sangat busuk.

Bukan hanya politisi yang busuk.

Agamawan atau akademisi yang bersinggungan dengan polititisi pun busuk.

Aku teringat saat masih di pesantren akhir 1990-an lalu.

Sang kiai mengisntruksikan semua santri yang memiliki hak pilih memilih parpol tertentu.

Memang tidak ada yang salah dengan instruksi itu.

Setiap orang berhak mengeluarkan instruksi pada bawahannya.

Kata ‘haram’ yang membuat aku sakit hati dan memandang negatif pada agamawan.

Sang kiai mengatakan "Seluruh santri haram tidak memilih parpol itu. Kalau masih memilih selain parpol itu, dia bukan santriku".

Kata ‘haram’ identik dengan agama.

Apalagi bila kata itu dikeluarkan oleh seorang ulama yang disegani.

Setiap menjelang event demokrasi, kata ini pasti muncul.

Ulama yang didekati atau akrab dengan kandidat tertentu, pasti menginstruksikan memilih kandidat itu.

Bahkan kandidat sering menggunakan kedekatan ulama sebagai klaim dukungan.

Tidak mengherankan setiap event demokrasi selalu diwarnai klaim dukungan.

Aku tidak tahu sampai kapan akan berpegang teguh pada pendirian ini.

Aku selalu membayangkan politik yang benar-benar bersih.

Artinya tidak lagi kaitan antara agama dengan politik.

Agama cukup sebagai pembatas moral bagi politisi.

Agamawan tidak perlu dibawa ke dalam ranah politik.

Biarkan agamawan mengurusi masalah moral.

Kelihatannya mimpiku tidak akan pernah terwujud.

Sebagaimana kata politikus Italia, Nicollo Machiavelli (1469-1527), "Setiap perbuatan bisa dilakukan untuk mendapat atau mempertahankan kekuasaan".

Aku tidak tahu politisi se-dunia pernah membaca karya Machiavelli atau tidak.

Dalam pengamatanku, semua politisi menjalankan ajaran Machiavelli.

Bahkan perebutan di tingkat RT atau RW-pun melakukan berbagai intrik demi mendapat kekuasaan.

Comments