Karma Politik
Untuk mencari
jawabannya, aku mencoba membuka website KPU, www.kpu.go.id.
Namaku dan
keluargaku memang tidak tercantum sebagai pemilih pileg di tempat domisiliku.
Justru
namaku dan keluargaku masih tercantum di rumah Surabaya.
Memang ada stiker sebagai bukti sudah didata pemilihnya di rumah Surabaya.
Tapi dalam stiker itu hanya
tertulis nama orang tua dan adikku.
Kakakku tidak tertulis di stiker itu
karena sudah memiliki rumah sendiri.
Aku tidak tahu bisa
atau tidak menggunakan hak pilih.
Berdasar administrasi kependudukan, aku
terdaftar sebagai warga Kabupaten Malang sejak tiga tahun lalu.
Saat mengurus perpindahan,
aku sudah memastikan semua berkas sudah terpenuhi.
Bahkan petugas di Surbaya
sudah memastikan seluruh berkas tentang aku terhapus.
Itulah yang membuat aku
heran kenapa namaku masih
terdaftar sebagai pemilih di Surabaya.
Aku memiliki hak
pilih sejak tahun 1999.
Setiap ada event demokrasi, mulai tingkat RT sampai
tingkat nasional, namaku selalu tercantum sebagai pemilih.
Ini adalah kali pertama
namaku tidak diakui oleh negara sebagai pemilih.
Kepada anggota keluarga, aku sempat
guyon akan mengurus agar tercantum
sebagai pemilih.
Minimal di pemilihan gubernur (Pilgub) Jatim, 29 Agustus 2013
nanti.
Sambil guyon, keluargaku pun menjawab, "Percuma.
Nanti belum tentu menggunakan hak pilih".
Aku memang tidak berniat
menggunakan hak pilih dalam Pilgub, Pileg, maupun pemilihan presiden (Pilpres)
nanti.
Sebagaimana kebiasaanku tahun-tahun sebelumnya, aku berdiam diri di rumah
atau memanjakan diri lebih nikmat daripada datang ke TPS untuk menyalurkan hak
pilih.
Aku menganggap kasus ini sebagai karma atas diriku.
Sebelumnya aku
seakan tidak mengakui negara.
Sekarang negara yang tidak mengakui aku sebagai penduduknya.
Bukan hanya saat pemilihan
yang membuat aku enggan menggunakan hak.
Saat kampanye pun aku tetap enggan datang
ke lokasi kampanye.
Padahal menurut informasi yang aku terima, kandidat pasti
akan memberikan uang.
Berita dari Tulungagung hari ini membuktikan informasi itu.
Aku masih
memandang politik secara negatif.
Politik dan instrumen yang ada di sekitarnya
sangat busuk.
Bukan hanya politisi yang busuk.
Agamawan atau akademisi yang
bersinggungan dengan polititisi pun busuk.
Aku teringat saat masih di pesantren
akhir 1990-an lalu.
Sang kiai mengisntruksikan semua santri yang memiliki hak
pilih memilih parpol tertentu.
Memang tidak ada
yang salah dengan instruksi itu.
Setiap orang berhak mengeluarkan instruksi
pada bawahannya.
Kata ‘haram’ yang membuat aku sakit hati dan memandang negatif
pada agamawan.
Sang kiai mengatakan "Seluruh santri haram tidak memilih parpol
itu. Kalau masih memilih selain parpol itu, dia bukan santriku".
Kata ‘haram’
identik dengan agama.
Apalagi bila kata itu dikeluarkan oleh seorang ulama yang
disegani.
Setiap menjelang event demokrasi, kata ini pasti muncul.
Ulama yang
didekati atau akrab dengan kandidat tertentu, pasti menginstruksikan memilih
kandidat itu.
Bahkan kandidat sering menggunakan kedekatan ulama sebagai klaim
dukungan.
Tidak mengherankan setiap event demokrasi selalu diwarnai klaim
dukungan.
Aku tidak tahu sampai
kapan akan berpegang teguh pada pendirian ini.
Aku selalu membayangkan politik
yang benar-benar bersih.
Artinya tidak lagi kaitan antara agama dengan politik.
Agama cukup sebagai pembatas moral bagi politisi.
Agamawan tidak perlu dibawa ke
dalam ranah politik.
Biarkan agamawan mengurusi masalah moral.
Kelihatannya mimpiku
tidak akan pernah terwujud.
Sebagaimana kata politikus Italia, Nicollo Machiavelli
(1469-1527), "Setiap perbuatan bisa dilakukan untuk mendapat atau
mempertahankan kekuasaan".
Aku tidak tahu politisi se-dunia pernah membaca karya
Machiavelli atau tidak.
Dalam pengamatanku, semua politisi menjalankan ajaran
Machiavelli.
Bahkan perebutan di tingkat RT atau RW-pun melakukan berbagai intrik
demi mendapat kekuasaan.
Comments
Post a Comment