Bermimpi Menjadi Besar
Sudah lama aku penasaran dengan Benua Atlantik.
Peradaban
kuno yang dianggap sebagai perababan paling awal di dunia.
Hancur diterjang
banjir bandang.
Tidak ada sisa peradaban yang ditinggalkan.
Ilmuwan modern pun
masih memperdebatkan lokasi peradaban Atlantis.
Bahkan ada yang menganggap peradaban
Atlantis hanya bualan filsuf Yunani, Plato.
Ada pula yang menganggap peradaban
Atlantis hanya mitos, dan tidak pernah ada di dunia.
Biarkan orang-orang menganggap peradaban Atlantis
sebagai mitos atau sejarah.
Mayoritas ilmuwan pasti mengenal peradaban
Atlantis.
Entah sebagai bagian dari sejarah yang hilang, atau hanya sebagai bagian
dari mitos.
Yang jelas peradaban Atlantis sudah tertanam di otaknya.
Pendiri peradaban pasti yakin suatu saat bangunannya
akan musnah, baik karena bencana alam, gempuran bangsa, atau faktor lain.
Tapi mereka
tetap bertekad mendirikan peradaban.
Mereka yakin peradabannya mampu bertahan
sampai ratusan tahun.
Sebagaian ambisi pendiri peradaban memang terbukti.
Sebagaian
peradaban tidak berlangung lama.
Tapi generasi selanjutnya mengakui bahwa
peradaban seumur jagung itu pernah mengisi sejarah.
Berdirinya peradaban tidak bisa dilepaskan dari
peradaban sebelumnya.
Peradaban Islam di abad pertengahan, berdiri diatas
tumpukan peninggalan Yunani dan Romawi.
Begitu pula peradaban yang terbangun
sekarang, juga lanjutan dari peradaban sebelumnya.
Tidak ada peradaban yang
benar-benar terbangun secara mandiri.
Jika saya telah melihat lebih jauh daripada orang
lain…
itu karena saya berdiri di atas pundak para raksasa…
itu karena saya berdiri di atas pundak para raksasa…
Kutipan dari Issac Newton (1642-1727) mengingatkan
kita tidak boleh egois.
Apapun karya yang sudah kita ciptakan pasti atas
sumbangsih orang lain.
Kita sudah belajar melalui buku, sekolah, diskusi, dan
sebagainya.
Pola pikir ditentukan dari proses dialektika dengan sesuatu di
sekelilingnya.
Jadi, kita tidak bisa mengklaim segala karya secara egois.
Pasti
ada peranan orang lain atas karya yang tercipta.
Setiap orang memiliki ambisi menjadi besar dan dikenal
orang lain.
Tapi tidak semua orang bisa mewujudkannya.
Sebagaimana figur publik,
orang yang ingin menjadi besar dan dikenal harus memangkas hak privasinya.
Dalam
infotainment, segala aktivitas dan segala sesuatu figur publik layak dikonsumsi
publik.
Tidak mengherankan wartawan infotainment cenderung menggali semua
aktivitas figur publik.
Resiko inilah yang sulit dilakukan semua orang.
Manusia
juga memiliki kehendak untuk memenuhi kebutuhan pragmatisme.
Sayangnya mayoritas
manusia mengunggulkan sisi ini sehingga hanya sebagaian kecil yang menjadi orang
besar.
Saat masih duduk di bangku kuliah dulu, aku juga bermimpi
menjadi orang besar.
Ketakutan akan resiko itu terus menghantuiku.
Aku sering berasumsi
menjadi orang besar lebih mudah seperti Tan Malaka (1987-1949).
Hidup tidak
terikat domisili dan keluarga.
Memiliki kehendak bebas untuk pergi ke mana saja.
Tapi hidup merantau seperti Tan Malaka juga beresiko.
Tidak ada orang yang
peduli dengan kehidupannya.
Bahkan saat meninggalnya pun, tidak ada orang yang
menangisinya.
Hidup dalam kesendirian, dan mati dalam kesendirian.
Ambisi menjadi orang besar masih ada dalam benakku.
Aku
tidak perlu meniru gaya hidup Tan Malaka.
Aku masih bisa menjadi orang besar
dengan membina rumah tangga.
Aku hanya perlu meluangkan waktu untuk diriku sendiri.
Aku hanya butuh keyakinan bahwa apa yang aku lakukan adalah jalan menuju menjadi
orang besar.
Comments
Post a Comment