Benarkah Semua Wakil Rakyat Bagus?
Entah siapa yang
memulai membahas soal Pilgub Jatim.
Seorang pengurus Arema Cronous berceletuk, "Semua
wakil calon (Pilgub Jatim 2013) itu bagus. Saya akan mencoblos mereka semua
nanti".
Mendengar kalimat
ini, aku teringat pemilihan legislatif (Pileg) 2009 di Bali.
Seorang anggota DPRD
Denpasar yang sedang mencalonkan kedua kalinya bercerita kepadaku.
Dia mencalonkan
diri dari Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB).
Untuk mengamankan perolehan
suaranya, dia mengerahkan sejumlah saksi di beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Setiap saksi dibayar sebesar Rp 200.000, dan mendapat makan siang.
Bagi calon anggota
legislatif (caleg), uang itu bukan hanya honor menjadi saksi.
Dia berharap saksi
juga memilih dirinya.
Dia pun penasaran
dengan tidak adanya suara untuknya di beberapa TPS.
Untuk menjawab rasa
penasaran ini, dia menemui seorang saksi yang telah dibayarnya.
Sang saksi membantah
tidak memberikan suara padanya.
Saksi itu pun sampai bersumpah agar caleg itu
percaya bahwa namanya sudah dicoblos saat masuk ke TPS.
Jawaban ini semakin
membuat caleg itu penasaran.
Dia bertanya, "Kok di TPS itu tidak ada suara
untuk saya?".
Dengan polosnya si saksi menjawab, "Tu Aji* memberi saya uang Rp
200.000. Tu Bagus* juga mmeberikan saya uang. Makanya saya coblos Tu Aji dan Tu
Bagus".
Tidak butuh
menjadi orang pintar untuk menjadi wakil rakyat.
Pengalamanku menjadi wartawan
di Bali, tidak semua wakil rakyat memiliki pengetahuan mumpuni.
Ada anggota
dewan yang tidak tahu permasalahan yang terjadi di lingkungan.
Bahkan ada
anggota dewan yang memilih menghindar saat ditanya permasalahan di
Denpasar.
Setiap calon
wakil rakyat pasti berlomba-lomba membuat program.
Program ini diharap mampu
menarik perhatian warga saat pemilihan nanti.
Tapi, bukan program yang membuat
warga memberikan suaranya untuk calon tertentu.
Kedekatan dan keakraban warga
dengan calon yang akan menentukan.
Meskipun nantinya ada warga yang menagih realisasi
program, itu hanya bagian dari dinamika politik.
Untuk menjadi
wakil rakyat memang butuh suara sebanyal-banyaknya.
Pendekatan personal
dibutuhkan agar bisa mendapat simpati dari warga.
Pendekatan personal bisa
dilakukan melalui nongkrong di tempat
warga biasa berkumpul, pengajian, dan sebagainya.
Warga hanya akan memberikan
suaranya pada orang yang dikenalnya.
Seorang anggota
DPRD Denpasar lainnya, tidak butuh pamer melalui baliho atau spanduk.
Dia bukanlah
warga asli Bali.
Tapi dia sukses terpilih kedua kalinya.
Setelah aku telusuri, dia
rutin menggelar pertemuan dengan warga di rumahnya.
Pertemuan ini tidak hanya
menjelang Pileg.
Bahkan saat hari biasa pun pertemuan rutin tetap digelar.
Comments
Post a Comment