Benarkah Semua Wakil Rakyat Bagus?

Aku sedang menunggu latihan Arema Cronous selesai di Stadion Gajayana, Jumat (23/8/2013) pagi.

Beberapa pengurus Arema Cronous dan petugas kebersihan stadion duduk-duduk di luar lapangan.

Entah siapa yang memulai membahas soal Pilgub Jatim.

Seorang pengurus Arema Cronous berceletuk, "Semua wakil calon (Pilgub Jatim 2013) itu bagus. Saya akan mencoblos mereka semua nanti".

Mendengar kalimat ini, aku teringat pemilihan legislatif (Pileg) 2009 di Bali.

Seorang anggota DPRD Denpasar yang sedang mencalonkan kedua kalinya bercerita kepadaku.

Dia mencalonkan diri dari Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB).

Untuk mengamankan perolehan suaranya, dia mengerahkan sejumlah saksi di beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Setiap saksi dibayar sebesar Rp 200.000, dan mendapat makan siang.

Bagi calon anggota legislatif (caleg), uang itu bukan hanya honor menjadi saksi.

Dia berharap saksi juga memilih dirinya.

Penghitungan suara langsung digelar setelah coblosan.

Kandidat itu gagal menjadi anggota DPRD kedua kalinya.

Perolehan suaranya tidak mencukupi untuk menjadi anggota DPRD.

Bahkan di beberapa TPS, tidak ada warga yang percaya dia sebagai wakil rakyat.

Padahal dalam perhitungannya, minimal saksi itu bisa memberikan suara kepadanya.

Bila saksi itu mengajak keluarga atau saudaranya, perolehan suaranya lebih dari satu.

Dia pun penasaran dengan tidak adanya suara untuknya di beberapa TPS.

Untuk menjawab rasa penasaran ini, dia menemui seorang saksi yang telah dibayarnya.

Sang saksi membantah tidak memberikan suara padanya.

Saksi itu pun sampai bersumpah agar caleg itu percaya bahwa namanya sudah dicoblos saat masuk ke TPS.

Jawaban ini semakin membuat caleg itu penasaran.

Dia bertanya, "Kok di TPS itu tidak ada suara untuk saya?".

Dengan polosnya si saksi menjawab, "Tu Aji* memberi saya uang Rp 200.000. Tu Bagus* juga mmeberikan saya uang. Makanya saya coblos Tu Aji dan Tu Bagus".

Tidak butuh menjadi orang pintar untuk menjadi wakil rakyat.

Pengalamanku menjadi wartawan di Bali, tidak semua wakil rakyat memiliki pengetahuan mumpuni.

Ada anggota dewan yang tidak tahu permasalahan yang terjadi di lingkungan.

Bahkan ada anggota dewan yang memilih menghindar saat ditanya permasalahan di Denpasar.

Setiap calon wakil rakyat pasti berlomba-lomba membuat program.

Program ini diharap mampu menarik perhatian warga saat pemilihan nanti.

Tapi, bukan program yang membuat warga memberikan suaranya untuk calon tertentu.


Kedekatan dan keakraban warga dengan calon yang akan menentukan.

Meskipun nantinya ada warga yang menagih realisasi program, itu hanya bagian dari dinamika politik.

Untuk menjadi wakil rakyat memang butuh suara sebanyal-banyaknya.

Pendekatan personal dibutuhkan agar bisa mendapat simpati dari warga.

Pendekatan personal bisa dilakukan melalui nongkrong di tempat warga biasa berkumpul, pengajian, dan sebagainya.

Warga hanya akan memberikan suaranya pada orang yang dikenalnya.

Seorang anggota DPRD Denpasar lainnya, tidak butuh pamer melalui baliho atau spanduk.

Dia bukanlah warga asli Bali.

Tapi dia sukses terpilih kedua kalinya.

Setelah aku telusuri, dia rutin menggelar pertemuan dengan warga di rumahnya.

Pertemuan ini tidak hanya menjelang Pileg.

Bahkan saat hari biasa pun pertemuan rutin tetap digelar.

* Adalah panggilan untuk orang dari kasta tertentu di Bali.

Comments