Apa yang Kau Cari?
Aku sedang menikmati masakan Padang di sebuah warung
di depan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Sebenarnya kurang tepat dikatakan
menikmati.
Lauknya usus ayam.
Padahal aku tidak senang menu makanan yang berkaitan
dengan binatang, kecuali telur.
Tapi, tidak ada pilihan lain.
Warung masakan
Padang itu tidak menyediakan makanan favoritku.
Terpaksa aku memilih usus ayam.
Posisiku menghadap ke barat atau membelakangi pintu
masuk.
Tiba-tiba seorang bocah berusia sekitar 10 tahun masuk warung.
Pakaiannya
serba hitam, dan sedikit rapi.
Tas ukuran kecil menempel di pingganya.
Dia
hanya berdiri di dekat pintu.
Penjaga warung langsung menghampirinya dan
bertanya mau membeli apa.
Bukan pakaiannya yang membuat aku harus beberapa
menoleh ke belakang.
Bahan pembicaraan antara penjaga warung dan si bocah yang
membuatku penasaran.
Bocah itu membeli nasi dan lauknya.
Penjual sempat
bertanya kok tumben membeli sama
nasinya.
Biasanya si bocah hanya membeli lauk, dan nasinya membawa dari rumah.
Sebelum si bocah pergi, penjaga warung bertanya jumlah
uang di dalam tasnya.
Penjaga warung mau menukar uangnya dengan pecahan Rp 1.000
milik si bocah.
Aku semakin penasaran, dan harus sering menoleh.
Ternyata uangnya
cukup banyak.
Aku tidak dapat memperkirakan berapa uang yang dibawa bocah itu.
Setelah si bocah meninggalkan warung, penjaga warung
baru menjelaskan bahwa bocah itu adalah pengemis.
Pendapatannya per hari cukup
banyak.
Sehari bisa mendapat antara Rp 100.000 sampai 150.000.
Penjaga warung memang
sering menukar uangnya ke bocah itu untuk uang kembali ke pelanggannya.
Aku memang pernah mendengar banyolan penghasilan pengemis dan wartawan.
Dalam banyolan itu digambarkan pengemis
mendapat Rp 1.000 per menit.
Dalam sejam sudah mendapat Rp 60.000.
Bila hanya
bekerja selama 10 jam per hari, dia sudah mendapat penghasilan sebesar Rp 600.000.
Pengemis masih bisa bercengkrama dengan keluarganya di luar ‘jam kerja’.
Bahkan di akhir pekan pun mereka masih bisa berwisata di sejumlah tempat.
Sebaliknya, wartawan tidak mengenal jam kerja.
Kadang
wartawan harus pulang larut malam.
Anak dan istrinya sudah tidur.
Bangun tidur, anak
sudah berangkat ke sekolah.
Istri sedang sibuk dengan urusan rumah atau bekerja.
Libur di akhir pekan bersama keluarga belum tentu bisa diwujudkan.
Istri atau
anak kadang memiliki aktivitas sendiri di akhir pekan.
Uang menjadi faktor utama mencari kerja.
Setiap interview
kerja, besaran gaji yang diminta pasti ditanyakan.
Besaran gaji ini pula yang
akan menentukan pencari kerja diterima atau tidak.
Pencari kerja yang mematok
gaji terlalu tinggi kemungkinan besar tidak akan diterima.
Sebaliknya, peluang
pencari kerja yang patokan gajinya kecil sangat besar.
Pencari kerja pun memperhitungkan besaran gaji.
Apalagi
pencari kerja yang sudah berkeluarga.
Besaran gaji ditentukan kebutuhan hidup
dirinya, dan keluarganya.
Pencari kerja tidak akan mau bekerja di perusahaan dengan
gaji kecil.
Mereka hanya mau ketika tidak ada pilihan lain.
Ketika suatu saat
ada pekerjaan lain dengan tawaran gaji lebih tinggi, mereka pasti akan keluar.
Bukan hanya dorongan pragmatisme yang membuat
seseorang mencari pekerjaan.
Hobi, dan kebiasaan bisa menjadi media awal
mencari kerja.
Orang yang bekerja sesuai hobi dan kebiasaan pasti lebih efisien.
Dengan bekerja sesuai hobi dan kebiasaan, seseorang tidak perlu meluangkan
waktu secara terpisah.
Pekerjaan bisa dilakoni dengan menyelurkan hobi dan menjalankan
kebiasaan.
Memang pekerjaan memiliki target yang harus dipenuhi pekerja.
Target
hanya terasa sebagai tantangan bila dilakukan sesuai hobi.
Semua tergantung individu saat mencari pekerjaan.
Bisa
mencari pekerjaan dengan gaji tinggi, atau sesuai hobi dan kebiasaan.
Comments
Post a Comment