Akhir Perjalanan Perantau

Paul Cumming adalah legenda hidup sepakbola Indonesia.

Namanya seakan redup dari dunia yang pernah digelutinya.

Detik.com sudah menuliskan cerita soal Paul Cumming pada 14 Juni 2013 lalu.

Sejak saat itu Paul Cumming kembali menjadi bahan pembicaraan pecinta sepak bola.

Bukan karena keberhasilannya membawa tim meraih prestasi.

Kali ini cerita Paul Cumming yang mengemuka adalah kisah tragisnya.

Paul Cumming hidup di Dusun Drigu, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang.


Paul Cumming berusaha bertahan hidup dengan mencari rezeki seadanya.

Membuka usaha play station (PS), kolam renang mini, dan sebagainya.

Aku mendapatkan nama Paul Cumming dari pengurus Persema beberapa waktu lalu.

Si pengurus Persema itu mendapat rekomendasi agar Paul Cumming didaulat menjadi pelatih Persema.

Rekomendasi ini cukup beralasan.

Tangan dingin Paul Cumming menjadi pertimbangan bagi Persema untuk merekrutnya.

Setelah mendengar namanya, aku berusaha menambah pengetahuan soal Paul Cumming.

Tidak banyak yang kuperoleh kerika searching di Google.

Cerita yang tercantum di Google didominasi kisah sedihnya bertahan hidup di Indonesia, mulai dari Papua sampai di Kabupaten Malang.


Aku memang sudah lama tidak menjelajah Kecamatan Poncokusumo.

Sesekali aku pernah bermain di Kecamatan Poncokusumo.

Aku sudah bisa menggambarkan kondisi Kecamatan Poncokusumo.

Daerahnya lebih pelosok dibandingkan tempat tinggalku di Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.

Meskipun senang hidup di pedalaman, aku tidak akan bertahan lama tinggal di Kecamatan Poncokusumo.

Aku butuh ketenangan suasana pedesaan untuk menghilangkan penat selama beraktivitas, bukan menjalani aktivitas.

Aku tidak tahu apa yang membuat Paul Cumming mau bertahan di Indonesia.

Aku yang lahir dan besar di Indonesia saja ingin merasakan hidup di luar negeri.

Bahkan aku tidak ingin menghabiskan umurku di tanah kelahiranku, Surabaya.

Aku ingin menghabiskannya di manapun, kecuali di Surabaya.

Rumput tetangga lebih lebih hijau daripada rumput sendiri.

Pepatah itu sangat tepat menggambarkan imajinasi manusia soal sesuatu yang belum dirasakannya, termasuk diriku dan Paul Cumming.

Mungkin sebelum datang ke Indonesia pada 1981 lalu, Paul Cumming menggambarkan Indonesia adalah tanah surga dibandingkan tempat kelahirannya, Inggris.

Apalagi Indonesia tepat berada di garis khatulistiwa yang hawanya lebih sejuk dibandingkan Inggris.

Begitu pula diriku yang menggambarkan daerah lain lebih nyaman dibandingkan Surabaya.

Dinamika masyarakat sekitar kurang diperhitungkan.

Selama ini kita hanya mendapat informasii soal dinamika masyarakat di daerah tertentu.

Makanya muncul keinginan untuk merasakan hidup di daerah yang dianggap nyaman itu.

Setelah merasakan hidup di daerah fatamorgana itu, penyesalan baru datang.

Kadang perantau tetap bertahan di daerah yang sudah tak seindah surga itu.

"Dia (Paul Cumming) mengaku tak pernah menceritakan segala hal pahit yang dialami di Indonesia pada sang ibu."

"Paul cemas kisah itu akan membuat ibunya sedih. Kepada sang ibu, dia hanya mengisahkan cerita-cerita bagus tentang pengalamannya di Indonesia."

Catatan ini sangat cocok dengan kondisi mayoritas perantau.

Perantau hanya perlu meyakinkan sanak familinya bahwa pilihannya merantau tidak salah.

Sekalipun ada hal kurang mengenakan dianggap bagian dari dinamika rantauan.

Membaca cerita Paul Cumming, aku teringat pemain asing atau pemain naturalisasi yang sekarang ada di Indonesia.

Banyak pemain asing atau pemain naturalisasi hidup di tengah kemewahan.

Kontrak dan fasilitasnya lebih tinggi dibandingkan pemain lokal.

Meskipun kemampuannya sebanding atau di bawah pemain lokal.

Tidak mengherankan pesepak bola atau pesepakbola naturalisasi bergaya layaknya artis.


Tapi tidak semua pesepak bola asing atau naturalisasi bergelimang kemegahan.

Paul Cumming hanya sebagaian pesepak bola asing atau naturalisasi yang hidupnya tragis.

Sebelumnya ada mantan pemain Persis Solo, Diego Mendieta, dan mantan pemain Persita Tangerang, Bruno Zandonadi.

Dua pemain ini meninggal di Indonesia dan tidak mampu membayar biaya pengobatan RS.

Merantau adalah pilihan.

Apapun dan bagaimanapun akhir dari perjalanan perantau, belum bisa diketahui.

Perantau hanya perlu menjalani takdirnya di luar tanah kelahiran dan jauh dari sanak famili.

Comments