Akhir Perjalanan Perantau
Bukan karena keberhasilannya
membawa tim meraih prestasi.
Kali ini cerita Paul Cumming yang mengemuka adalah
kisah tragisnya.
Paul Cumming hidup di Dusun Drigu, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang.
Baca juga: Oleh-oleh dari Haji
Paul Cumming berusaha bertahan hidup dengan mencari rezeki seadanya.
Membuka usaha
play station (PS), kolam renang mini,
dan sebagainya.
Setelah mendengar
namanya, aku berusaha menambah pengetahuan soal Paul Cumming.
Tidak banyak yang
kuperoleh kerika searching di Google.
Cerita yang tercantum di Google didominasi kisah sedihnya bertahan hidup di
Indonesia, mulai dari Papua sampai di Kabupaten Malang.
Baca juga: Etika Seorang Pemabuk
Aku memang sudah lama tidak menjelajah Kecamatan Poncokusumo.
Sesekali aku pernah bermain di
Kecamatan Poncokusumo.
Aku sudah bisa menggambarkan kondisi Kecamatan
Poncokusumo.
Daerahnya lebih pelosok dibandingkan tempat tinggalku di Kecamatan
Singosari, Kabupaten Malang.
Meskipun senang hidup di pedalaman, aku tidak akan
bertahan lama tinggal di Kecamatan Poncokusumo.
Aku butuh ketenangan suasana
pedesaan untuk menghilangkan penat selama beraktivitas, bukan menjalani
aktivitas.
Aku tidak tahu apa
yang membuat Paul Cumming mau bertahan di Indonesia.
Aku yang lahir dan besar
di Indonesia saja ingin merasakan hidup di luar negeri.
Bahkan aku tidak ingin
menghabiskan umurku di tanah kelahiranku, Surabaya.
Aku ingin menghabiskannya
di manapun, kecuali di Surabaya.
Rumput tetangga
lebih lebih hijau daripada rumput sendiri.
Pepatah itu sangat tepat
menggambarkan imajinasi manusia soal sesuatu yang belum dirasakannya, termasuk
diriku dan Paul Cumming.
Mungkin sebelum datang ke Indonesia pada 1981 lalu, Paul
Cumming menggambarkan Indonesia adalah tanah surga dibandingkan tempat
kelahirannya, Inggris.
Apalagi Indonesia tepat berada di garis khatulistiwa
yang hawanya lebih sejuk dibandingkan Inggris.
Begitu pula diriku yang
menggambarkan daerah lain lebih nyaman dibandingkan Surabaya.
Dinamika masyarakat
sekitar kurang diperhitungkan.
Selama ini kita hanya mendapat informasii soal dinamika
masyarakat di daerah tertentu.
Makanya muncul keinginan untuk merasakan hidup
di daerah yang dianggap nyaman itu.
Setelah merasakan hidup di daerah fatamorgana
itu, penyesalan baru datang.
Kadang
perantau tetap bertahan di daerah yang sudah tak seindah surga itu.
"Dia (Paul
Cumming) mengaku tak pernah menceritakan segala hal pahit yang dialami di
Indonesia pada sang ibu."
"Paul cemas kisah itu akan membuat ibunya sedih. Kepada sang
ibu, dia hanya mengisahkan cerita-cerita bagus tentang pengalamannya di Indonesia."
Catatan
ini sangat cocok dengan kondisi mayoritas perantau.
Perantau hanya perlu meyakinkan
sanak familinya bahwa pilihannya merantau tidak salah.
Sekalipun ada hal kurang
mengenakan dianggap bagian dari dinamika rantauan.
Membaca
cerita Paul Cumming, aku teringat pemain asing atau pemain naturalisasi yang
sekarang ada di Indonesia.
Banyak pemain asing atau pemain naturalisasi hidup di tengah kemewahan.
Kontrak dan
fasilitasnya lebih tinggi dibandingkan pemain lokal.
Meskipun kemampuannya sebanding
atau di bawah pemain lokal.
Tidak mengherankan pesepak bola atau pesepakbola
naturalisasi bergaya layaknya artis.
Baca juga: Suara Takbir bagi Anak Kos
Tapi
tidak semua pesepak bola asing atau naturalisasi bergelimang kemegahan.
Paul Cumming
hanya sebagaian pesepak bola asing atau naturalisasi yang hidupnya tragis.
Sebelumnya
ada mantan pemain Persis Solo, Diego Mendieta, dan mantan pemain Persita Tangerang,
Bruno Zandonadi.
Dua pemain ini meninggal di Indonesia dan tidak mampu membayar
biaya pengobatan RS.
Merantau adalah pilihan.
Apapun dan bagaimanapun
akhir dari perjalanan perantau, belum bisa diketahui.
Perantau hanya perlu menjalani
takdirnya di luar tanah kelahiran dan jauh dari sanak famili.
Comments
Post a Comment