Tradisi Mengirim Doa Keliling

Orang Jawa biasa mengirim doa pada malam 21 Ramadan.

Mengirim doa juga dilakukan pada malam Lebaran.

Tradisi mengirim doa di kampungku tidak tersentral di masjid atau musala.

Setiap 6 sampai 8 KK mengirim doa sendiri dari rumah ke rumah.

Artinya, mengirim doa dilakukan bergiliran di setiap rumah.

Setiap KK membuat berkat sesuai jumlah peserta kirim doa.

Bila anggota kirim doa sebanyak 8 KK, berarti setiap KK membuat 7 berkat.

Setelah mengirim doa selesai, tujuh berkat terkumpul di rumah.

Mayoritas keluarga akan membuang sebagaian berkat-nya.

Anggota keluarga tak mampu menghabiskan semua berkat dalam semalam.

Padahal rata-rata jumlah anggota keluarga mencapai lima sampai enam orang.

Apalagi keluargaku yang hanya berjumlah tiga orang.

Seorang pendatang sempat berusaha mengubah tradisi itu.

Pendatang itu usul setiap KK cukup membuat dua berkat.

Mengirim doa pun tidak perlu dilakukan dari rumah ke rumah.

Cukup disentralkan di rumah tertentu secara bergiliran.

Bila malam 21 Ramadan di rumah A, mengirim doa malam Lebaran di rumah B.

Setiap orang pulang hanya membawa dua berkat.

Jadi, di rumah itu hanya untuk menukar berkat dan mengirim doa untuk semua ahli kubur.

Usulan ini memang logis.

Tujuannya untuk meminimalisir membuang berkat.

Semua sepakat bahwa membuang berkat hanya menghamburkan harta.

Selain itu, pemborosan.

Bisa dibayangkan pemborosan harus dilakukan setiap mengirim doa.

Padahal setahun kadang bisa antara 10-11 kali mengirim doa.

Meski usul ini sangat bagus, tidak semua penduduk desa setuju.

Orang yang tak setuju beralasan berdoa tersentral mengurangi berkah

Sebab, doa hanya dilakukan sekali.

Berbeda bila doa dilakukan di setiap rumah.

Tuan rumah pasti mendapat berkah dengan berdoa di rumah sendiri dan tetangga.

Aku pun tidak menyalahkan orang yang berpegang teguh pada tradisi.

Bagi mereka, tradisi harus dipegang teguh.

Mengubah tradisi kadang dianggap mengubah agama.

Padahal tradisi mengirim doa terkaitan dengan tradisi sebelumnya, bukan dengan agama.

Mengubah tradisi memang tidak mudah.

Pendobrak tradisi, butuh waktu lama untuk mengubah tradisi masyarakat.

Wali Songo misalnya.

Butuh waktu puluhan tahun dan beberapa generasi Wali Songo untuk menyiarkan Islam di Indonesia.

Aku salut pada pendatang itu yang berusaha mengubah tradisi itu.

Dia memiliki kemauan untuk mendewasakan masyarakat desa.

Meskipun aku memiliki darah kampungku, tapi aku menganggap diriku sebagai pendatang.

Aku kelahiran Surabaya.

Mayoritas hidupku pun lebih banyak di luar kampungku sekarang.

Apalagi sekarang aku jarang ada di rumah.

Mungkin aku ada di rumah hanya ketika malam.

Itu pun aku manfaatkan untuk istirahat di dalam rumah.

Pola pikir pendatang itu memang cukup bagus.

Tapi aku pesimis langkah itu bisa menjalar ke seluruh penduduk kampung.

Saat ini saja hanya ada empat orang yang setuju dengan usul itu, termasuk aku.

Mereka yang setuju dengan usul ini bukan tanpa alasan.

Satu orang setuju karena masih ada ikatan saudara dengan istrinya.

Satu orang lagi setuju karena rumahnya berhadapan dengan penggagas.

Aku setuju karena mempertimbangkan efisiensi anggaran dan tidak mau membuang makanan berkat.

Aku teringat dengan celetukan, "Budaya Jawa adalah budaya pemerataan kemiskinan".

Celetukan ini berdasar sejumlah tradisi di Jawa.

Mengirim doa itu, misalnya.

Mereka pasti menyadari mengirim doa keliling rumah ke rumah sangat boros.

Tapi mereka tetap melakukannya.

Hidup di tengah tradisi, kita hanya bisa mengikutinya.

Kalau kita tidak melakukannya, pasti dikira orang sempalan.

Konsekwensinya bisa diacuhkan.

Comments