Puasa yang Tak Biasa

Pemerintah daerah (pemda), dan polisi beramai-ramai mengeluarkan kebijakan tak populis menjelang Ramadan.

Semua tempat hiburan malam, lokalisasi, dan tempat maksiat lain ditutup.

Bahkan ada juga kebijakan tak tulis yang melarang warung buka pada siang hari.

Bahkan penjualan minuman beralkohol ilegal pun dilarang, seperti tuwak.

Kebijakan ini rutin dikeluarkan menjelang Ramadan.

Sebaliknya, tidak ada aturan serupa selama 11 bulan lainnya.

Aku yakin pemerintah sangat dilematis mengeluarkan kebijakan ini.

Satu sisi, kebijakan ini harus dikeluarkan untuk menghormati umat Islam yang sedang berpuasa.

Di sisi lain, kebijakan ini bisa menambah pengangguran.

Sebab, orang yang biasanya bekerja selama 11 bulan dipaksa libur selama sebulan.

Padahal mereka juga butuh makan dan biaya hidup lainnya setiap hari.

Dalam praktiknya, polisi dan pemerintah jarang menindaklanjuti keluarnya kebijakan ini.

Penjual minuman beralkohol, lokalisasi, dan tempat maksiat lain masih banyak buka.

Tempat maksiat ini tentu tidak buka sevulgar seperti di luar Ramadan.

Hanya pelanggan tertentu yang mengetahui tempat tersebut sedang buka.

Bahkan pemiliknya pun terkesan menutup diri bila sedang membuka usaha.

Inilah yang memunculkan arogansi ormas tertentu.

Berdalih menegakan ajaran agama dan aturan pemerintah, ormas ini melakukan sweeping.

Padahal UU tidak memberi amanah pada ormas untuk menegakan aturan pemerintah, apalagi aturan agama.

Bahkan di negara berbasis Islam pun, penegakan aturan dilakukan oleh aparat penegak hukum, bukan ormas.

Idealnya hakikat ibadah puasa bersifat individual dan psikologis.

Konsep ibadah puasa berbeda dengan ibadah lain.

Ibadah lain masih bisa ditunjukan ke orang lain, seperti salat, zakat, dan haji.

Tapi, puasa tidak ada yang tahu, kecuali diri sendiri dan Tuhan.

Hanya orang riya’ yang mengatakan "Saya sedang berpuasa".

Semua agama memiliki teknis berbeda soal puasa.

Persamaan teknis puasa di semua adalah ‘menahan diri dari segala larangan yang telah ditentukan’.

Artinya, puasa bersifat sukarela, dan tidak memaksa.

Suasana Ramadan di kawasan yang didominasi non-Islam tidak berbeda dengan bulan lainnya, seperti Bali, Manado, Papua, dan Flores.

Tempat hiburan malam, warung, lokalisasi, dan penjualan minuman beralkohol tetap buka.

Bahkan pemilik warung muslim pun banyak yang membuka usahanya selama Ramadan siang.

Pemda maupun polisi tidak pernah mengeluarkan aturan khusus selama Ramadan.

Razia pun tidak pernah dilakukan.

Aku baru bisa memaknai Ramadan sebagai bulan untuk puasa selama tiga kali di Bali.

Ramadan di Bali memang tidak berbeda dengan bulan lainnya.

Tuntutan dan jam kerja pun tidak ada dispensasi.

Di tengah teman-teman Hindu sedang menikmati makanan, aku dituntut bisa menahan diri.

Kadang aku harus berbuka sebelum waktunya karena tidak kuat menahan godaan.

Tapi aku menganggap inilah puasa sebenarnya.

Puasa bukan seperti orang miskin yang tidak memiliki apa-apa untuk dimakan.

Orang miskin puasa itu sudah biasa, dan setiap hari.

Mereka memang tidak memiliki dan belum memikirkan apa yang harus dimakan.

Tapi orang kaya berpuasa, itu baru luar biasa.

Dalam konteks sekarang, puasa saat sulit mencari warung itu sudah bukan hal aneh.

Tapi bagaimana kita bisa menahan diri tidak makan saat banyak warung yang buka.

Puasa tidak perlu mendapat penghormatan dari pemda atau polisi.

Pemda dan polisi sudah kompak menutup tempat maksiat selama Ramadan.

Kalau masih ada umat Islam yang tidak puasa, siapa yang perlu disalahkan?

Aku tidak dapat menyalahkan umat Islam yang tidak berpuasa karena itu haknya.

Aku juga tidak bisa menyalahkan pemda dan polisi yang sudah mengeluarkan kebijakan tak populis itu.

Puasa bukan karena tidak ada warung yang buka.

Puasa itu untuk menumbuhkan kesadaran diri.

Ingat, tubuh kadang berhak menikmati kelaparan dan dahaga.

Psikis juga butuh menekan hedonisme.

Kalau manusia mengabaikan hak tubuh dan psikologi, itu sama saja tidak menghargainya.

Sesekali puasa, itu harus!!!

Comments