Politik untuk Keserakahan

Membaca berita politik di Jatim menjelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2013 sangat membosankan.

Berita didominasi pasangan incumbent, Soekarwo dan Saifullah Yusuf (Karsa).

Melihat rekaman dukungan kepada calon incumben di media massa, seakan semua elemen masyarakat ingin gubernur sekarang berkuasa kembali.

Ada Forum guru TK Surabaya, Komunitas Tionghoa Jatim, Koperasi wanita Setia Bhakti Wanita (SBW), 9.300 guru di Surabaya, 30.000 pengusaha Jatim, 14 elemen perempuan, dan sebagainya.

Media massa pun menulis dukungan atau aktivitas politik calon lain.

Tapi porsinya lebih kecil dibandingkan calon incumben.

Justru konflik dukungan yang menjadi headline di media massa.

Seperti dualisme dukungan dari Partai Kedaulatan (PK) dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI).

Bagi incumbent, hilangnya dukungan dua parpol gurem ini tidak masalah.

Tapi bagi pasangan Khofifah Indar Parawansa-Herman Sumawiredja, hilangnya dukungan dari dua parpol gurem ini menjadi kiamat.

KPU Jatim tidak meloloskan keduanya karena dukungan kurang dari 15 persen.

Setiap event demokrasi pasti diwarnai aksi dukung-mendukung.

Memang KPU hanya menilai dukungan dari parpol atau masyarakat bagi pasangan yang ingin maju melalui jalur independen.

Tapi kandidat juga butuh dukungan dari elemen masyarakat.

Banyaknya dukungan dari elemen masyarakat bisa menjadi senjata perang psikologis (psy-war).

Sebenarnya elemen masyarakat bersikap pragmatis dalam setiap event demokrasi.

Dukungan yang diberikan hanya bersifat klaim.

Dukungan dari 30.000 pengusaha Jatim, misalnya.

Aku tidak yakin sebanyak 30.000 pengusaha benar-benar mendukung Karsa.

Di antara pengusaha itu pasti ada yang mendukung pasangan lain.

Bahkan ada pula yang tidak menentukan pilihan alias apatis menyikapi situasi politis.

Biasanya klaim keluar dari mulut pengurus elemen masyarakat.

Klaim ini diberikan karena kedekatan personal antara pengurus elemen masyarakat dengan kandidat.

Menyaksikan video politik kartel Pilgub Jatim di Youtube, dukungan butuh dana sangat banyak.

Kandidat harus mengeluarkan untuk parpol yang mendukungnya.

Bahkan diisukan uang juga mengalir ke kantong anggota KPU sebesar Rp 3 miliar.

Uang ini diberikan untuk memuluskan langkah salah satu kandidat.

Benar atau tidaknya isu ini, hanya pelaku dan Tuhan yang tahu.

Aku pernah mendengar soal proses pemilihan di Papua.

Aku tidak tahu kebenaran proses pemilihan ini.

Informasi yang aku dengar, pemilih dari pegunungan Papua diwakilkan kepada kepala suku.

Satu suara dari kepala suku mewakili ribuan anggota suku.

Bila kepala suku menentukan dukungan pada kandidat tertentu, suara kandidat langsung bertambah sesuai jumlah anggota suku.

Mekanisme ini diambil karena KPU tidak  bisa membangun Tempat Pemungutan Suara (TPS) di pegunungan.

Jarak tempuh menjadi pertimbangan membangun TPS sesuai jumlah penduduk pegunungan.

Dukungan telah menjadi tuhan dalam politik, entah itu dukungan klaim maupun dukungan dalam arti sebenarnya.

Seperti kata pepatah, tidak ada penguasa yang rela memberikan kekuasaannya ke orang lain.

Penguasa yang sudah di ujung tanduk pun akan berusaha mencari dukungan.

Dia baru memberikan kekuasaannya pada orang lain bila sudah merasa tidak ada lagi yang mendukungnya.

Sebaliknya, pendukung pun akan mati-matian memberikan dukungan pada penguasa tertentu.

Pendukung memberikan dukungan untuk mempertahankan status quo.

Dukungan ini tak bisa lepas dari hubungan pragmatisme.

Pendukung pun tidak mau orang yang bukan di pihaknya menjadi penguasa.

Bila kekuasaan jatuh ke tangan orang lain, bisa jadi akan mempengaruhi kesejahteraannya.

Manusia pun cenderung senang dengan status quo daripada berinovasi.

Manusia terlahir dengan sifat serakah.

Sifat ini sudah terlihat ketika manusia baru keluar dari rahim ibunya.

Hanya waktu yang dapat mengendalikan sifat serakah.

Manusia yang besar di lingkungan orang-orang serakah pasti akan menjadi serakah.

Tidak ada manusia serakah yang hidup di tengah kalangan sufi.

Comments