Politik Tanpa Konstituen

Aku memiliki hak politik pertama kali pada 1999.

Uforia politik pasca reformasi membuat jumlah parpol membeludak.

Ada 48 parpol yang ikut dalam pemilihan legislatif, baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi, maupun pusat.

Aku masih belum memahami kondisi politik saat itu.

Setahuku saat itu hanya Soeharto baru saja turun dari kursi kepresidenan.

Beberapa aktivis hilang, dan kerusuhan di sejumlah daerah mewarnai era Reformasi.

Hari H coblosan.

Saat masuk ke bilik Tempat Pemungutan Suara (TPS), aku bingung.

Kertas ukuran sekitar satu meter persegi aku bentangkan di dalam TPS.

Bukan hanya satu, tapi beberapa lembar kertas.

Setiap kertas berisi nama berbeda.

Hanya parpolnya yang sama.

Dari deretan nama yang tercantum, tidak ada satu pun yang aku kenal.

Saat membuka lembaran ukuran besar itu, aku masih bingung menentukan pilihan.

Akhirnya aku langsung mencoblos sambil memejamkan mata.

Aku tidak tahu siapa yang aku pilih.

Aku pun tidak tahu kepada parpol mana aku arahkan pilihan.

Saat masa kampanye, memang ada orang yang datang ke rumahku.

Aku tidak mengenalnya.

Anggota keluargaku juga tidak mengenalnya.

Dia memperkenalkan diri dari anggota parpol tertentu.

Kalau tidak salah, dia memperkenalkan diri Partai Keadilan (PK) yang sekarang sudah berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Aku hanya menemuinya di teras rumah.

"Jangan memasukkan orang tak dikenal ke dalam rumah. Khawair ada ada apa-apa," pesan anggota keluargaku.

Sejak saat itu aku salut dengan model pengkaderan PKS.

Partai yang mengklaim berbasis Islam ini adalah satu-satunya partai yang pernah bersinggungan denganku.

Pengkaderan PKS memang berbeda dengan pangkaderan partai lain.

Pengkaderannya sudah terbangun sejak era Orde Baru (Orba).

PKS langsung masuk 10 besar padahal baru deklarasi setahun sebelumnya.

Selain 1999 itu, aku tidak pernah datang lagi TPS.

Bahkan pemilihan di tingkat RT maupun RW, aku memilih berdiam diri di dalam rumah.

Orang tuaku sering memerintahkan aku datang ke TPS setiap ada pemilihan.

Tapi aku bersikukuh tidak mau datang.

Makanya setiap ada pemilihan, aku lebih sering berada di luar kota daripada berada di rumah.

Wajah politik Indonesia era Reformasi memang sangat beragam dibandingkan era Orba.

Beragam wajah pun bermunculan.

Gud Dur dan Amin Rais yang dikenal sebagai ‘guru bangsa’ pun harus turun tangan.

Gus Dur menjadi korban politik era Reformasi pertama kali.

Dia harus kehilangan kursi kepresidenan akibat diterpa isu Brunaigate dan Buloggate.

Meski isu belum ada kebenarannya, nama Gus Dur belum pernah dipulihkan.

Inilah kejamnya politik.

Teman dan musuh dalam politik tergantung kepentingan.

Tidak ada teman atau musuh abadi dalam politik.

Teman bisa menjadi musuh dalam hitungan detik.

Kepentingan politik tidak hanya berlaku untuk politik nasional maupun daerah.

Bahkan teman dan musuh politik pun berlaku dalam segala aktivitas yang memperebutkan kekuasaan, misalnya di dunia kampus.

Kejamnya dunia politik inilah yang membuat aku tidak pernah terbesit berkecimpung dalam politik.

Aku selalu berdoa agar anak turunku tidak masuk dalam dunia politik.

Selain faktor perang kepentingan, politik juga membutuhkan dana sangat banyak.

Makanya hanya orang kaya saja yang bisa sukses menjadi politisi.

Aku teringat perdebatan antara Gurbernur Bali dan DPRD Bali beberapa tahun silam.

Saat itu Gubernur Bali berencana memangkas sejumlah dana tunjangan dewan.

Dewan pun menolak usulan itu.

Alasannya dewan butuh dana operasional lebih banyak.

Memelihara konstituen yang memenangkannya dan untuk pencalonan di masa depan.

Sedangkan gubernur tidak butuh memelihara konstituen.

Cukuplah aku bermain politik di dalam keluarga.

Aku bisa menikmati menjadi penguasa yang tidak mungkin digulingkan.

Aku sudah bahagia bisa menikmati hidup dengan kondisi pas-pasan.

Aku tidak perlu memikirkan konstituen atau memberi janji-janji palsu pada orang lain.

Comments