Penjual Nama Tuhan
Aku
duduk sendiri sambil menikmati kopi di Wisata Kuliner.
Seorang pria datang menghampiriku.
Dia mengenakan baju warna putih dan celana warna hitam.
Tangannya memegang puluhan
amplop.
Satu amplop disodorkan kepadaku, dan satu amplop disodorkan ke pengunjung di sebelahku.
Baca juga : Beragam Wajah Tuhan
Saat
menerima amplop, aku sempat melihat wajahnya.
Penerangan di dalam kafe sangat
redup karena hanya menggunakan lampu lima watt.
Tapi aku mengenal wajah orang yang memberikan
amplop.
Wajahnya tak asing bagiku.
Aku sering melihatnya dia seliweran di DinoyoNet,
tempat aku nongkrong setiap siang.
Sepintas
aku membaca bagian depan amplop.
Tertulis nama panti asuhan yang tidak kukenal
beralamat di Kota Malang.
Di bagian bawah terdapat ayat suci Al Quran yang
berisi imbauan bersedekah.
Aku sempat ingat dia menyodorkan amplop bertulis panti
asuhan di Tulungagung.
Sesekali
aku melirik ke pemberi amplop yang berdiri tidak jauh dari tempat dudukku.
Dia hanya
berdiri sambil menghitung jumlah amplopnya.
Meski tercantum nama panti asuhan, aku
tidak memasukan uang ke amplop yang diberikan.
Aku hanya pura-pura membaca
dengan teliti.
Sekitar
lima menit dia berdiri dan mengamati gerakanku dari jarak sekitar lima meter.
Dia
kemudian menghampiri pengunjung di sampingku.
Pengunjung itu langsung
menyodorkan amplop pemberiannya.
Saat dia berada di depanku, aku pun memberikan amplop
putih pemberiannya.
Dia berkata, "Belum ada, mas?".
Aku tidak tahu maksud
pertanyaannya.
Spontan aku menjawab singkat, "Maaf".
Aku sudah sering menemui pemandangan
seperti ini.
Banyak orang serupa di Jalan Veteran dan Jalan Galunggung.
Tangannya membawa kotak amal tertulis nama panti asuhan.
Mereka
berharap pengendara memasukan uang ke dalam kotak amal tersebut.
Dulu
aku masih sering melihat pemohon bantuan menggunakan mobil.
Baca juga : Politik untuk Keserakahan
Di bagian atas mobil
dipasang salon ukuran besar.
Pengemudi berkoar minta bantuan untuk masjid atau panti
asuhan tertentu.
Biasanya masjid atau panti asuhan yang dimaksud berada di luar
kota.
Artinya, mereka rela minta bantuan ke luar kota yang jaraknya berkilo-kilo
meter.
Padahal bantuan yang diterima belum tentu sepadan untuk biaya operasional.
Akhir-akhir
ini aku tidak pernah melihat pemohon bantuan yang mengendarai mobil lagi.
Aku sempat
membaca berita pemohon bantuan seperti ini sempat ditangkap polisi di Jatim
sebelah selatan dan barat.
Di mobilnya ditemukan senjata tajam.
Ada juga yang tertangkap
tangan melakukan penipuan.
Panti asuhan atau masjid yang tercantum ternyata
hanya fiktif alias tidak ada.
Setiap
kali melihat pemohon bantuan, aku teringat indulgensi gereja pada abad pertengahan silam.
Pemohon bantuan mobile memang tidak langsung menjanjikan
penghapusan dosa.
Sebaliknya, indulgensi langsung
menawarkan penghapusan dosa.
Baca juga : Banyak Jalan Menuju Kematian
Tapi melalui ayat suci yang tercantum di amplop
atau kotak amal, pemohon bantuan mobile pun
menjanjikan pengampunan dosa.
Aku
lebih menghargai pengemis atau polisi cepek pengatur arus lalu lintas.
Mereka memang
‘bekerja’ untuk biaya hidup.
Mereka tidak perlu menjual nama Tuhan agar dikasihani
orang lain.
Memang sebagaian pengemis ini termasuk orang kaya.
Tapi aku mengacungi
jempol untuk kejujurannya.
Mereka berani mengakui sedang butuh sumbangan untuk
pribadi.
Comments
Post a Comment