Kematian yang Ditunggu
“Seorang
filsuf Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang
kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua.”
Coretan ini dituliskan oleh aktivis 1965-an, Soe Hok Gie (1942-1969).
Catatan hariannya
kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul Catatan Seorang Demonstran.
Berdasar catatan harian
ini pula sutradara Riri Reza mengangkat perjalanan hidup Soe Hok Gie dalam film
berjudul Gie.
Sosok Gie diperankan Nicholas Saputra.
Bagi
aktivitas muda, buku harian ini menjadi bacaan wajib.
Bukan hanya petualangannya
sebagai aktivitis selama menjadi mahasiswa.
Perjalanannya mendaki gunung, dan curahan
hati percintaannya pun patut diresapi.
Gie
memang memenuhi takdirnya mati muda.
Dia mati di atas ketinggian 3.000 meter
dari permukaan laut saat mendaki di Gunung Semeru sehari sebelum ulang tahunnya
ke-27.
Sesuai catatan hariannya, Gie mati dalam keberuntungan.
Apalagi dia masih
mempertahankan idealismenya sampai akhir hayatnya.
Selain
Gie, banyak selebritis yang mati dalam usia muda.
Vocalis Nirvana, Kurt Cobain,
artis Marilyn Monroe, dan sebagainya.
Berbeda dengan Gie, dua artis ini mati karena
over dosis obat-obatan.
Bahkan Cobain yang sedang di bawah pengaruh obat-obatan itu bunuh diri dengan menembakan senapan ke rahangnya.
Dari
beberapa kasus ini, kematian kadang sangat dinantikan.
Meski tidak secara
langsung menantikan datangnya kematian, Gie mendambakan mati dalam kondisi beruntung:
mati muda.
Begitu pula Cobain pun selalu menantikan datangnya kematian.
Bahkan Cobain
beberapa kali mencoba bunuh diri dengan menenggak obat-obatan melebihi dosis.
Begitu
pula Monroe.
Secara
pribadi, aku tidak sepakat dengan perkataan filsuf Yunani yang ditulis Gie.
Orang
yang tidak pernah ada bukanlah orang yang tidak pernah dilahirkan.
Orang yang
tidak dilahirkan tidak pernah merasakan pahit-manisnya kehidupan.
Tentu dia tidak
dapat dikatakan nasibnya lebih baik.
Kalau kehidupan dianggap sebagai beban, memang
nasibnya terbaik.
Aku menilai Gie menganggap kehidupan sebagai beban.
Mati
terbaik kedua pun bukanlah orang yang mati dalam usia muda.
Perlu diketahui,
pola pikir anak muda cenderung labil.
Mereka hanya memandang persoalan tidak menyeluruh.
Bahkan dalam mencari solusi pun hanya berdasar kejadian sesaat.
Mereka tidak
memikirkan runtutan terjadinya masalah.
Pemikiran anak muda cenderung hedonis dan
pragmatis.
Bagi orang tua, anak muda lebih sering menjadi ganjalan daripada mitra.
Sebaliknya,
orang tua bukan berarti orang paling beruntung.
Memang orang tua sudah terlalu kenyang
menikmati kehidupan.
Berbekal pengalamannya mengarungi kehidupan, orang tua hanya
berpegang teguh pada empirisme.
Artinya, perjalanan hidup menjadi patokan generasi
selanjutnya.
Berarti
bukan orang yang tidak dilahirkan, anak muda, atau orang tua yang paling
beruntung.
Setiap jenjang usia ini masih bisa menjadi terbaik atau tersial.
Sial
dan baik bukanlah nasib yang harus dilalui manusia.
Justru manusia bisa
mengubah jalur sial dan baik.
Manusia memiliki kehendak mengubah takdir dirinya
sendiri.
Aku
teringat film Man of Steel.
Manusia tidak bisa menentukan nasib generasi
selanjutnya.
Generasi baru harus diberi pilihan untuk menentukan nasibnya
sendiri.
Bahkan generasi baru pun bisa menentukan kapan dia harus mati.
Comments
Post a Comment