Dominasi Mayoritas Menggilas Minoritas

Pesan singkat masuk ke BlackBerry Messenger (BBM)-ku pada pukul 14.45 WIB.

Pemberitahuannya hanya singkat.

"Aku sedang mencari warung yang buka".

Pemberitahuan ini sebagai balasan BBM-ku sebelumnya yang bertanya lokasi yang akan dituju setelah tiba di Kota Malang.


Aku pun menyarankan dia datang ke masjid.

Tentu saja dia sangat kaget.

Apa hubungannya info warung buka dengan datang ke masjid.

"Kamu Salat Istikarah dulu. Siapa tahu Allah memberi tahu warung yang buka," jawabku.

Aku memang tidak tahu di mana warung yang buka.

Di tempat aku nongkrong sekarang, warungnya memang buka.

Tapi pramusaji tidak mau melayani pemesanan makanan atau minuman.

Pramusaji hanya melayani pembelian password wifi.

Mencari warung buka selama Ramadn di daerah berpenduduk Islam pasti sulit.

Sebenarnya bukannya sulit mencari warung buka.

Orang yang tidak pernah puasa selama Ramadan pasti tahu.

Aku tidak tahu temanku itu memang baru pertama kali tidak puasa atau memang tidak tahu warung buka.

Aku pun selama ini tidak pernah makan di luar rumah kalau sedang tidak berpuasa.

Bukan hanya selama memasuki Ramadan kesulitan mencari warung buka.

Sehari sebelum Ramadan, aku pun kesulitan mencari warung buka.

Rencananya aku menyelesaikan ketikanku di Wisata Kuliner.

Pintunya memang buka.

Saat aku masuk, pemilik warung malah berkata, "Maaf, kami tutup. Semua sedang ingin Salat Tarawih perdana'.

Susahnya mencari warung buka memang resiko tidak berpuasa di daerah berpenduduk mayoritas Islam.

Bukan hanya kaum muslim 'nakal’ yang kesulitan mencari warung buka.

Bahkan kaum non-muslim yang juga tidak berpuasa pun tidak akan mudah menikmati makanan dengan nyaman.

Hidup di negara demokrasi seharusnya saling menghargai dan saling menghormati.

Mayoritas bisa berbuat segala sesuatu untuk memenuhi kepentingannya.

Pemda di daerah berpenduduk mayoritas Islam pasti akan mementingkan kelompoknya.

Penduduk mayoritas Kristen, dan Hindu akan mendapat hak lebih banyak dibandingkan penganut agama minoritas di derahnya.

Aku masih teringat saat Salat Jumat di Bali beberapa tahun silam.

Salat baru saja memasuki rakaat pertama.

Tiba-tiba terdengar suara bunyi gending sangat keras.

Adat penguburan di Bali memang sangat ramai.

Berbeda dengan adat penguburan di Jawa.

Saat itu iring-iringan jenazah lewat di pinggir masjid.

Bukannya memperkencil suaranya, justru suaranya semakin keras.

Orang Hindu di Jawa atau daerah lain berpenduduk mayoritas non-Hindu tidak akan berbuat seperti itu.

Mereka lebih menghargai perbedaan daripada umat Hindu di Bali.

Begitu pula umat Islam di Bali lebih menghargai perbedaan daripada umat Islam di Jawa.

Kesadaran diri akan tumbuh ketika kita menjadi minoritas.

Sebaliknya, mayoritas hanya akan menimbulkan arogansi.

Sampai kapan pun demokrasi tidak akan menghargai kaum minoritas.

Kaum Syiah dan Ahmadiyah tidak akan bisa menjalankan ibadah dengan tenang di beberapa negara, termasuk Indonesia.

Demokrasi hanya untuk kaum mayoritas.


Tentunya mayoritas ini adalah yang diakui oleh sistem.

Makanya Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak akan mengakui suara golput di setiap pemilihan meskipun jumlanya mayoritas.

Comments