Tentang Sebuah Nama
Aku
teringat dengan ucapan ibuku beberapa tahun silam.
“Kalau kamu punya anak laki-laki,
namakan dia Muhammad,” kata ibuku.
Aku
tidak tahu apa maksud dari ucapannya.
Bagi ibuku yang agamis, Nabi Muhammad adalah
sosok superior, dan sempurna.
Setidaknya itulah yang diketahui tentang nabi
terakhir bagi umat Islam itu.
Sebagai
manusia, Muhammad pasti memiliki kesalahan.
Itu alamiah.
Sebagai manusia
sosial, Muhammad berinteraksi dengan manusia lain.
Kesalahan sekecil apapun pasti
pernah dilakukan.
Bahkan kesalahan terhadap Tuhan-nya pun pernah dilakukannya.
Terutama
pemikir orientalis yang memandang Muhammad dari segi manusianya.
Media mendapat
wahyu pun sering dikritisi.
Begitu pula pembinaan rumah tangganya dengan beberapa istrinya.
Sikap
kritis itu wajar.
Begitu pula sikap fanatik.
Manusia memiliki sisi kritis dan
fanatis.
Bagi manusia berpikiran kritis, segala sesuatu pasti ada celah untuk
dilihat sisi negatifnya.
Sebaliknya, mencari pembenaran menjadi alternatif
bahwa sesuatu yang disenangi itu sangat sempurna.
Terlepas
dari dualisme perfektif itu, aku mengakui Muhammad adalah sosok sempurna
sebagai manusia.
Nabi memang pernah melakukan kesalahan.
Di akhirnya hidupnya,
Nabi masih menyempatkan diri minta maaf.
Meski aku yakin tidak semua orang
yang pernah disakiti Muhammad mau memafaatkannya.
Abu Sofyan dan keluarganya
misalnya.
Meski mengakui Muhammad sebagai pemimpin, dendam pribadi dan
keluarganya tidak pernah hilang sampai Muhammad meninggal.
Aku menamakan anakku dengan Muhammad (bila laki-laki), bukan berarti aku
menghargainya sebagai sosok sempurna.
Aku salut dengan pengaruhnya yang bisa
mencapai seluruh belahan dunia.
Terlepas dari pengaruh itu bersifat teologis
maupun politis.
Aku memandang Muhammad sebagai sosok yang mampu membawa keyakinanya
melewati seluruh samudera.
Selain
sosok nyata, tokoh fiksi pun patut diperhatikan.
Tokoh fiksi yang aku maksud
dalam tulisan ini meliputi segala jenis tokoh fiksi, baik berkaitan dengan
mitologi, film, novel, dan komik.
Setiap
tokoh fiksi memiliki karakteristik berbeda dengan tokoh lain.
Beberapa tokoh
fiksi antar kelompok kadang memiliki persamaan.
Hanya penyebutan atau namanya
yang berbeda.
Sedangkan sifat dan karakternya tidak berbeda.
Karena
tokoh fiksi adalah rekaan manusia, karakter dan sifatnya memiliki persamaan
dengan manusia.
Dikotomi kebaikan dan keburukan, feminisme dan maskulinisne,
dan dikotomi lainnya dimiliki tokoh fiksi.
Perpaduan
tokoh nyata dan fiksi ini yang akan aku berikan ke anakku.
Aku harap anakku
kelak bisa mempelajari dan karakter tokoh-tokoh yang namanya aku berikan ke
anakku.
Apalagi mayoritas tokoh fiksi, terutama dalam mitologi, sudah mulai
dilupakan manusia modern.
Gerusan modernisasi dan agama menghilangkan tokoh
fiksi.
Comments
Post a Comment