Sepak Bola Sebagai Hukum

Aku teringat dengan ucapan tokoh eksistensialis-humanis, Jean Paul Sartre (1905-1980).

Aku lupa judul buku, dan tahun terbitan buku yang aku baca kala itu.

Yang aku ingat hanya ucapan Sartre bahwa ‘Dari sepak bola aku belajar hukum’.

Sepak bola memang sudah dikenal sejak abad 2 atau 3 sebelum Masehi di Cina.

Baru mulai awal abad 20 permainan ini menjadi kebanggaan mayoritas manusia.

Baca juga : Bola Itu Laki!

Saat ini diperkirakan 250 juta orang di seluruh dunia memainkan sepak bola.

Bahkan sepak bola menjadi olahraga favorit untuk meraup kekayaan.

Pemain sepak bola berubah menjadi selebritis baru di dunia infotainmen.

Kembali ke statemen Sartre, dalam sepak bola memang ada beragam hukum.

Ada hukum sebelum pertandingan.

Dalam 45 X 2 menit pertandingan pun ada hukum yang berlaku.

Begitu pula setelah pertandingan.

Bahkan untuk orang yang berkecimpung selain pemain pun ada hukum.

Suporter, pengelola kompetisi, penjual tiket, maupun investor pun ada hukum masing-masing.

Tidak semua hukum yang berlaku tercantum dalam hitam di atas putih.

Mayoritas hukum berjalan secara alamiah.

Sanksinya pun tidak pasti, dan bisa berubah sewaktu-waktu.

Seperti penggunaan red flare, atau suporter yang masuk lapangan.

Dalam manual liga tidak disebutkan kepastian sanksi dari pelanggaran ini.

Komisi Disiplin (Komdis) sering mengeluarkan sanksi denda sampai pertandingan tanpa penonton terhadap dua pelanggaran ini.


Bila hidup pada masa kini, mungkin Sartre tidak akan belajar hukum pada sepak bola.

Banyak manuver di sepak bola yang tidak seharusnya diambil pelajaran.

Sepak bola sekarang tidak lagi sekedar olahraga untuk menyehatkan jasmani.

Sepak bola telah menjadi menjelma menjadi medan politik.

Tidak mengherankan mayoritas pengurus sepak bola adalah orang-orang politisi atau yang berkaitan dengan politik.

Politik memang kejam.

Sebagaimana yang diungkap pengamat politik Italia, Nicollo Machiavelli.

Politik tidak memandang moral dan etika.

Politik dilakukan untuk mendapat dan mempertahankan kekuasaan.

Beragam manuver tanpa memandang sumber-sumber etika dan hukum diperbolehkan.

Memang pengamatan Machiavelli berdasar pada pengamatan kondisi politik saat itu.

Tapi situasi politik saat ini tidak jauh berbeda dengan era Machiavelli masih hidup.

PSSI telah pindah ke tangan pengurus baru.


Sekarang kekuasaan itu kembali ke tangan kelompok sebelumnya.

Memang kelompok tidak masuk dalam struktur kepengurusan PSSI.

Tapi kebijakan selama ini merujuk pada PSSI era sebelumnya.

Sepak bola memang telah menjadi hiburan rakyat.

Setiap pertandingan sepak bola pasti diminati masyarakat.

Bukan hanya pertandingan di stadion.

Sepak bola telah menjadi olahraga kelompok paling murah.

Seharusnya para politisi sepak bola memandang kebutuhan rakyat ini, bukan malah bermanuver untuk kepentingan kelompok.

Comments