Polisi (Bisa) Sama Dengan Penjahat

Aku masih di Bali saat Pemilihan Gubernur Bali 2008.

Di antara calon gubernur paling menonjol adalah Made Mangku Pastika (terpilih, dan sekarang terpilih kembali dalam Pilgub 2013).

Meski kelahiran Bali, Pastika besar di luar Bali.

Dia kembali ke Bali saat mendapat tugas menjadi Ketua Tim Investigasi Bom Bali 2002 dan 2005.


Setelah itu mendapat kepercayaan menjadi Kapolda Bali pada 2003-2005.

Meski didukung partai terbesar di Bali, PDIP, banyak yang meragukan Pastika bakal terpilih menjadi Gubernur.

Bukan hanya karena Pastika lama meninggalkan Bali.

“Tidak ada orang yang senang polisi. Setiap orang berurusan dengan polisi, ujung-ujungnya pasti uang,” kata atasanku.

Mantan Kapolres Malang Kota, AKBP Teddy Minahasa pun mengakui polisi sering minta uang ke masyarakat.

“Citra polisi akan meningkat kalau tidak ada polisi yang minta uang di jalanan,” kata Teddy kala itu.

Itulah alasan orang tidak mau berurusan dengan polisi.

Mayoritas pelaku dan korban tabrakan memilih jalur kekeluargaan daripada diselesaikan di kantor polisi.

Seandainya kantor instansi tidak butuh Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), aku yakin tidak ada orang yang bersedia datang ke kantor polisi.

Dengan profesiku sekarang, aku tetap tidak senang polisi.

Memang aku memiliki kenalan polisi.

Bahkan saudaraku pun ada yang menjadi polisi.


Tapi aku memandang mereka sebagai individu, bukan secara institusi.

Sekalipun aku berhubungan polisi secara institusional, itu sebatas profesionalisme.

Aku selalu berdoa agar anakku kelak tidak ada yang menjadi polisi atau tentara.

Doa ini sudah aku panjatkan sebelum polisi lepas dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) 1999 silam.

Saat itu aku memandang ABRI yang terdiri TNI dan Polri lebih sering mengedepankan otot daripada rasionalisme.

Awalnya aku berharap perpisahan ini membuat Polri lebih rasional dan humanis.

Ternyata Polri sekarang tidak berbeda dengan era sebelumnya.

Polri masih belum bisa humanis, belum mengedepankan rasional, dan belum bisa menyatu dengan orang sipil.

Masih ada sekat antara polisi dan orang sipil.

Demonstrasi masyarakat sipil pasti akan berhadapan dengan polisi.

Ironinya, polisi sering membawa senjata lengkap, meskipun berhadapan dengan masyarakat sipil tanpa senjata.

Koresponden Trans 7 di Jambi, Nugroho Kusumawan (34) menjadi orang sipil terakhir (saat tulisan ini dibuat) yang menjadi korban penembakan polisi.

Pecahan selongsong gas air mengenai pelipis kanannya.

Kebencianku lainnya disebabkan sikap polisi.

Sebagai aparat penegak hukum, ada polisi yang menyalahgunakan wewenangnya.


Menjadi backing ilegal logging, bandar narkoba, dan terlibat tindak kriminalitas.

Saat investigasi tambang emas ilegal di Banyuwangi, aku mendengar seseorang berkata, "Jangan menambang di sumur itu. Itu milik aparat".

Semasa hidupnya, Abdurahman Wahid (Gus Dur) pernah berkata, "Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia, yaitu patung polisi, polisi tidur, dan mantan Kapolri tahun 1969-1971, Hoegeng Iman Santoso".

Kadang polisi menjadi biang kerok lahirnya penjahat.

Aku berharap ada Hoegeng lain yang muncul di dunia polisi Indonesia.

Comments