Perdamaian di Sepak Bola
Viking
tidak bisa bersatu dengan Aremania.
Begitu pula Bonek yang tidak duduk di
stadion yang sama dengan Aremania.
Orang-orang Arifin Panigoro pun sulit bersanding
dengan orang Bakrie.
Liga Super Indonesia (LSI) pun tidak mau disandingkan
dengan Liga Prima Indonesia (LPI).
Inilah
realitas sepak bola di Indonesia.
Perang kepentingan mewarnai sepak bola akhir-akhir
ini.
Bahkan setelah Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI beberapa waktu lalu, benih-benih
permusuhan masih ada.
Enam anggota Komite Eksekutif yang disanksi pasti akan melakukan
perlawanan.
Sepak bola di Indonesia memang tidak ada persatuannya.
Pertikaian
ini mengorbankan banyak pihak.
Saat dua suporter tawuran di jalanan, masyarakat
pasti dirugikan.
Harta kekayaannya dan keselamatannya terancam.
Bila tawuran
terjadi didalam stadion, fasilitas stadion pasti rusak.
Belum lagi kemungkinan
adanya sanksi dari PSSI akibat tawuran selama pertandingan.
Pertarungan
di tingkat elit pun akan merugikan peserta kompetisi.
Perpecahan antara LPI dan
LSI sudah membuktikan.
Saat orang-orang LSI yang berkuasa, klub atau pengurus LPI
rawan kena sanksi.
Sebaliknya selama orang LPI yang berkuasa, klub dan pengurus
LSI pun rawan kena sanksi.
Padahal
seharusnya sepak bola itu mempersatukan antara dua kubu, dua tim, dua suporter,
dan dua kepentingan.
Pertarungan hanya bisa dilakukan selama 45 X 2 menit.
Itu
pun hanya boleh dilakukan dengan berbagai aturan main, seperti tidak rasis.
Menciptakan
kedamaian di sepak bola butuh peranan semua pihak.
Para suporter harus dewasa
menyikapi perseteruan abadi yang sudah berlangsung.
Dendam lama harus dibuang
untuk mengakhiri perseteruan ini.
Begitu pula bagi para elit yang terlibat pertarungan.
Saling memberi sanksi bukan solusi menyelesaikan masalah.
Sanksi hanya berakibat
munculnya dendam.
Secara
umum, pertarungan di sepak bola bukanlah pertarungan antar individu.
Saya yakin Arifin
Panigoro tidak memiliki dendam dengan Bakri.
Mereka bisa makan satu meja, dan
berbincang soal kondisi negara saat ini.
Begitu pulang orang Surabaya belum tentu
sentimen dengan orang Malang.
Pertarungan
yang terjadi di sepak bola hanya soal kepentingan dan adu gengsi.
Saat bergulirnya
LPI pada 2010 lalu, Arifin Panigoro dikabarkan akan membidik kursi presiden.
Begitu
pula Bakri yang getol mempertahankan LSI sebagai kompetisi kasta tertinggi.
Dia pun dianggap
ingin maju menjadi presiden.
Arifin Panigoro memang belum terlihat kiprahnya
melaju menjadi presiden.
Tapi Bakri sudah terlihat kampanye menjadi orang nomor
satu di Indonesia.
Pertarungan
di tingkat suporter pun tak lepas kepentingan dan adu gengsi.
Para suporter
pasti menganggap diri dan kelompoknya sebagai superior.
Ketika bertemu dengan
suproter lain, adu gengsi terjadi.
Tidak jarang adu gengsi berakhir dengan kericuhan.
Pertarungan di sepak bola harus diakhiri.
Sepak bola harus menjadi hiburan rakyat.
Hiburan paling murah yang bisa dinikmati
berbagai lapis masyarakat.
Tidak perlu ada pertarungan, baik di tingkat elit
maupun akar rumput.
Comments
Post a Comment