Melawan Dominasi Super Ego
Manusia
memiliki naluri alamiah.
Psikolog asal Wina, Jerman, Sigmund Freud (1856-1939),
dorongan alamiah dinamakan Id.
Naluri alamiah manusia berisi hasrat kesenangan.
Naluri alamiah ini sudah terbentuk sejak manusia lahir.
Freud mencontohkan naluri
alami dengan kebutuhan makan atau minum.
Naluri alamiah (id) akan terus
berkembang sesuai perkembangan pribadi.
Super
Ego adalah realitas di luar pribadi.
Biasanya Super-Ego digambarkan moralitas, aturan,
dan adat istiadat.
Manusia mengenal Super-Ego pertama kali dari orang tua atau pengasuhnya.
Makanya orang tua atau pengasuh paling menentukan pembentukan Super-Ego manusia.
Tidak mengherankan manusia cenderung menganggap superioritas agama atau
moralitas yang dianutnya.
Antara
Id dan Super Ego sering berbenturan.
Ego-lah yang bisa mengendalikan antara Id
dan Super Ego.
Menentang Super Ego sangat sulit.
Manusia dibesarkan di tengah moralitas
dan adat istiadat yang sudah ada.
Untuk melawan Super Ego, butuh dorongan Id lebih
besar.
Manusia cenderung menekan Id dan memilih mengikuti Super Ego.
Memang
tidak mudah melawan Super-Ego.
Orang di sekeliling kita pun akan menjadi lawan utama
saat kita berusaha melawan Super-Ego.
Terutama orang tua atau pengasuh yang
paling bertanggung jawab membentuk Super Ego.
Hanya
penentang Super-Ego yang mampu mengisi lembaran sejarah.
Nabi Musa sering melawan
tradisi Yahudi yang sudah mendarah daging di kaumnya.
Begitu pula Nabi Isa dan
Nabi Muhammad.
Dalam konteks Indonesia, lahirnya pahlawan pun akibat
perlawanannya terhadap Super Ego.
Tidak jarang perlawanan terhadap Super-Ego harus
berakhir dengan tragis.
Nietzsche
(1844-1900), dan Tan Malaka (1897-1949) adalah bagian dari penentang Super-Ego
yang tergerus oleh Super-Ego lain.
Hanya butuh waktu penentang Super-Ego
terabaikan ini muncul kembali ke permukaan.
Meski mendapat penentangan selama hidupnya,
ajaran Nietzche menjadi inspirasi bagi Adolf Hitler melawan dominasi Komunisme
dan Kapitalisme.
Begitu pula Tan Malaka yang sempat tenggelam di era Orde Baru,
kembali bangkit pasca Reformasi.
Setiap
masa memang perlu adanya penentang Super-Ego.
Moralitas dan adat istiadat kadang
butuh pembaruan.
Moralitas dan adat istiadat sering melenceng setelah lama berkembang
di masyarakat.
Sebagaimana yang dikatakan Tan Malaka, "Realitas akan penuh mistis
setelah jauh masa kejadiannya".
Padahal saat kejadian, tidak ada unsur mistis
dalam realitas tersebut.
Lahirnya
penentang Super-Ego adalah suatu keniscayaan.
Filosof materialisme percaya bahwa realitas
menentukan subtansi pribadi.
Tapi dalam konteks Indonesia pasca Reformasi, lahirnya
penentang Super Ego belum ada yang massif.
Demontrasi penentang kebijakan hanya
bersifat sporadis.
Kontinuitas masih kurang.
Jadi
ingat joke Soeharto yang biasa tertempel
di boks truk, "Piye, enakan jamanku to?”
Comments
Post a Comment