Beragam Wajah Tuhan
Ateisme
lahir bersamaan teisme.
Sebagai sebuah dikotomi, keduanya tidak bisa
dipisahkan.
Sebagaimana dikotomi antara hitam dan putih.
Di mana ada teisme, pasti
ada ateisme.
Istilah
ateisme berasal dari bahasan Yunani, yaitu atheos
yang berarti tak bertuhan.
Istilah atheos tidak hanya disematkan pada orang
yang tidak mempercayai Tuhan.
Orang Yunani menyebut seseorang ‘atheos’ bila memiliki kepercayaan berbeda
dengan kepercayaan yang lazim.
Orang
modern yang menyebut dirinya ateis pertama kali adalah Baron d’Holbach (1723-1789).
Penulis Perancis abad 18 ini mengemukakan pendapatnya dalam buku berjudul Systeme
de la Nature (1770) dan Common Sense (1772).
Buku ini pula yang mengilhami Karl
Marx (1818-1883) dan Friedrich Engel (1820-1895) mengembangkan materialisme modern.
Di
abad 21 ini, angka ateisme semakin meningkat.
Di setiap negara pasti ada penganut
ateisme.
Diperkirakan jumlah penganut ateisme mencapai 2,3 persen dari total penduduk
dunia.
Angka ini diperkirakan akan terus meningkat seiring kecewaan pada agama
konvensional.
Kata
ateisme sering dikaitkan dengan ‘ketidakpercayaan pada Tuhan dalam agama’.
Tuhan
dalam agama konvensional dikenal melalui sifat dan karakter.
Seperti, tuhan penyayang, tuhan akan memberi balasan bagi orang yang ikut perintah-Nya, dan menghukum orang
yang melanggar perintah-Nya, dan sebagainya.
Kadang penganut agama mengenal tuhan-nya
dengan mempersamakan dengan manusia.
Tuhan digambarkan memiliki tangan, kepala,
dan organ lain layaknya manusia.
Seluruh
penganut agama selalu menjadikan tuhan sebagai tempat bersandar dan tumpuan
hidup.
Artinya, tuhan adalah tujuan akhir dari kehidupan agama.
Bagi penganut
agama konvensional, tuhan akan memberi balasan setelah berakhirnya dunia ini.
Manusia
berlomba-lomba melakukan kebaikan dengan harapan akan mendapat balasan setimpal.
Merujuk
pada fungsi tuhan, sebenarnya penganut ateis pun mempercayai adanya tuhan.
Memang tuhan bagi penganut ateisme berbeda dengan tuhan bagi penganut teisme.
Penganut
ateisme mengenal tuhan yang konkrit, bukan abstrak, dan empiris.
Karl
Marx, Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), Adolf Hitler (1889-1945), dan beberapa
orang yang dianggap ateis modern pun sebenarnya mengakui adanya tuhan.
Tentunya
tuhan bagi tokoh-tokoh berbeda tuhan yang dikenal di agama konvensional.
Mereka
memiliki konsep tersendiri soal tuhan yang diinginkan.
Karl
Marx terlalu mengangungkan realitas tanpa sekat kelas, Nietzsche mengangungkan ubermensch, atau Hitler yang mengunggulkan
bangsa Arya.
Bagi mereka, inilah tuhan era modern.
Statemen Karl Marx paling kontroversial
adalah ‘agama adalah candu masyarakat’.
Atau statemen Nietzsche yang ‘God is Dead.’
Statemen
ini memang ditujukan untuk mendobrak agama konvensional.
Agama yang dikenal manusia
saat itu hanya mengungkung nilai humanisme.
Birokrasi agama dan seremonial
keagamaan tidak lagi mampu meningkatkan derajat manusia.
Mereka menawarkan
solusi sebagai tuhan pengganti.
Masyarakat komunis, ubermensch, superioritas bangsa Arya, atau manusia sempurna-nya Sigmud
Freud.
Tawaran inilah yang menjadi tuhan bagi penganutnya.
Sebenarnya tidak ada orang yang tidak percaya
tuhan.
Tuhan selalu ada di setiap kehidupan manusia.
Manusia pun membutuhkan
peranan tuhan untuk melakoni kehidupan.
Konsep tuhan yang dianut kaum tak
ber-Tuhan ini tidak lagi abstrak, atau irasional.
Lebih mudahnya, uang di jaman
modern pun bisa menjadi tuhan.
Comments
Post a Comment