Sekelumit Catatan Kasus Pembunuhan Wartawan Udin
26-27 April 2014. Aku menjadi delegasi workshop bertema
Advokasi Kebebasan Pers di Hotel Indah Palace, Yogyakarta.
Aku tiba di
Yogyakarta sehari sebelum acara dimulai.
Aku tidak langsung menuju hotel.
Aku mampir
di sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta dulu.
Apalagi saat
itu teman-teman AJI Yogyakarta sedang diskusi dengan anggota KPU Yogyakarta.
Aku
lupa namanya.
Selama berada di Yogyakarta inilah aku mendapat informasi
seputar almarhum Fuad Muhammad Syafrudin (1964-1996).
Aku baru tahu ternyata Udin
hanya berstatus kontributor (freelance) Bernas.
Udin tercatat sebagai kontributor
Bernas sejak 1986.
Bahkan sampai sampai meninggalnya pada 16 Agustus 1996, Udin
masih berstatus sebagai kontributor.
Hak dan kewajiban kontributor berbeda dengan wartawan
yang berstatus karyawan kontrak atau karyawan tetap.
Kontributor hanya
mendapat upah berdasar berita atau foto yang termuat.
Dalam dunia wartawan, kontributor
sering disebut sebagai pedagang berita.
Pasti ada untung dan rugi.
Untung bila redaksi memuat berita yang dikirim wartawan.
Kontributor pasti rugi bila beritanya
tidak dimuat.
Rugi dalam artian bensin, pulsa, dan jerih payahnya tidak akan
mendapat imbalan.
Kontributor tidak memiliki hak lain.
Tidak ada
tunjangan kesehatan, tunjangan keluarga, dan sebagainya.
Tapi ada beberapa
perusahaan media yang memberikan tunjangan kesehatan kepada para kontributor.
Kontributor yang tidak mendapat tunjangan atau jaminan kesehatan harus
rela mengeluarkan biaya sendiri untuk berobat.
Selain mengeluarkan biaya
sendiri, mereka dipastikan tidak mendapat upah akibat sakit karena tidak mengirim
berita.
Meskipun haknya berbeda, kontributor memiliki kewajiban
yang sama dengan wartawan yang berstatus karyawan kontrak atau karyawan tetap.
Kontributor
bisa mengabarkan informasi sedetail mungkin.
Perusahaan sering tidak peduli
bagaimana jerih upaya untuk mendapat berita.
Entah menerjang badai, mengorbakan
nyawa, atau tindakan beresiko lainnya.
Bagi perusahaan, pembaca butuh berita sedetail
mungkin.
Aku yakin Udin sudah memahami resiko yang akan dihadapinya.
Tapi dia tetap menulis kritis terhadap pemerintah yang masih dibawah rezim Orde
Baru (Orba).
Menjadi wartawan berbeda dengan menjalani profesi lain.
Memang saat
ini sudah banyak kampus yang membuka Fakultas Ilmu Komunikasi atau Jurusan
Jurnalistik.
Tapi hanya segelintir alumni Ilmu Komunikasi atau Jurusan
Jurnalistik yang bersedia menjadi wartawan.
Aku sudah sering bertemu dengan mahasiswa magang menjadi
wartawan.
Rata-rata mereka tidak mau menjadi wartawan setelah lulus nanti.
Mereka
seakan sudah kapok terjun di dunia
wartawan selama sebulan sampai tiga bulan.
Mereka memilih menekuni profesi lain
yang resikonya lebih kecil dan gajinya besar.
Aku sering berpikir pemilik perusahaan media yang mempekerjakan
wartawan sebagai kontributor apa tidak pernah menjadi kontributor.
Asumsiku seperti
itu.
Pengusaha media tersebut tidak pernah menjadi kontributor.
Atau pengusaha memiliki
pandangan lain.
Karena pernah menjadi kontributor, pengusaha ingin wartawannya menjadi
kontributor dulu sebelum diangkat menjadi karyawan tetap.
Tapi kadang sebaliknya.
Banyak kontributor yang tidak
mau diangkat menjadi karyawan tetap.
Hanya karena hobi jurnalistik, mereka rela
menjadi wartawan.
Biasanya kontributor seperti ini tidak menjadikan hasil dari wartawan
sebagai sumber pemasukan utama.
Mereka sudah memiliki sumber pemasukan lain
yang lebih besar.
Wartawan hanya untuk mengisi waktu luang dan menyalurkan hobi.
Perusahaan media termasuk model perusahaan unik.
Dalam
UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan diatur soal serikat pekerja/buruh.
Tapi hanya
beberapa perusahaan media yang mengizinkan karyawan atau wartawannya membentuk
serikat pekerja.
Karena tidak ada serikat pekerja/buruh, perusahaan menentukan besaran
gaji sendiri.
Padahal seharusnya pekerja/buruh diajak berkomunikasi untuk
menentukan besaran buruh.
Karena tidak adanya serikat pekerja/buruh inilah kontributor
sering menjadi korban arogansi perusahaan.
Selain besaran upah, kontributor juga
kesulitan berkomunikasi dengan perusahaan.
Biasanya komunikasi hanya melalui redaktur
atau bidang lainnya.
Jadi keputusan yang keluar sering bukan dari perusahaan,
tapi insiatif redaktur atau bidang lainnya.
Sebagaimana tentara, mati dalam bertugas adalah kehormatan
bagi wartawan.
Tapi aku yakin tidak ada wartawan yang ingin mati dalam bertugas.
Makanya ada slogan tidak ada berita seharga nyawa.
Artinya wartawan harus hati-hati
mencari, mengolah, dan mewartakan berita.
Aku hanya berharap kasus Udin tidak terulang lagi.
Comments
Post a Comment