Anak dan Menantu Sama-sama Bangsat

"Anak dan menantu sama-sama bangsat."

Itulah umpatanku selama mengedit berita tentang seorang nenek yang dititipkan di panti jompo di Kabupaten Malang.

Tiga anaknya kompak menitipkan nenek itu ke panti jompo.

Bahkan tiga anak itu menyerahkan perawatan sampai si nenek meninggal.

Alasannya beragam.

Ada yang sibuk bekerja.

Ada yang baru kena pemutusan hubungan kerja alias PHK.


Ada pula anak yang ikut suami di rumah mertua.

Aku sempat membagikan berita tersebut ke rekan sesama editor.

"Cuk, tego nemen anak2e (tega sekali anak-anaknya)," kata temanku.

Aku yakin bukan hanya temanku itu yang emosi saat membaca berita tersebut.

Semua orang pasti akan emosi.

Apalagi budaya Timur mengharuskan pengabdian kepada orang tua yang sudah uzur.

Aku sangat miris melihat kondisi itu.

Aku tidak tahu isi benak tiga anak yang tega menitipkan ibu kandungnya di panti jompo.

Sebelum menitipkan ibu di panti jompo, seharusnya anak berpikir perjuangan ibu.

Ibu selalu berjuang agar anak-anaknya bisa dewasa dan mandiri.

Ibu pun tidak pernah berharap anak akan atau mau membalas budinya.

Seharusnya anak sadar diri pada kewajiban sebagai anak, yaitu mengasuh orang tua yang sudah uzur.

Kewajiban ini bukan hanya berlaku bagi anak kandung.

Anak menantu pun wajib mengasuh orang tua mertua yang sudah uzur.

Bagaimana pun orang tua mertua sama seperti orang tua kandung.

Orang tua mertua memang tidak turut melahirkan, mengasuh, mendidik, dan membesarkan kita.

Tapi, kita telah mengambil anaknya sebagai pendamping hidup.

Sepatutnya kebaktian kepada tua kandung tidak berbeda dengan kebaktian kepada orang tua mertua.

Orang tua kandung sama dengan atau tidak berbeda dengan orang tua mertua.

Dalam berita yang kuedit tadi, tidak ada penjelasan nenek itu masih punya suami atau tidak.

Aku yakin si nenek sudah tidak punya suami.

Andai masih punya suami, si nenek pasti hidup bersama suami.

Dalam pepatah jawa, orang tua yang sudah uzur bagaikan jimat.

Jimat adalah barang siji seng perlu dirumat, yaitu satu-satunya barang yang harus dijaga atau dirawat.

Aku selalu teringat pepatah ini setiap kali berkunjung ke rumah sanak famili.


Keluargaku selalu berpesan agar aku sering mengunjungi ibuku.

Sekarang ibuku tinggal sendirian di rumah tua.

Kakakku tinggal di rumah sendiri yang dekat dengan rumah tua.

Adikku dan aku tinggal di luar kota.

Makanya keluargaku selalu berpesan agar aku sering-sering mengunjungi ibu.

Apalagi aku sering merasa bersalah sebagai anak.

Aku adalah satu-satunya anak yang tidak bisa menamani bapak di sisa hidupnya.

Bahkan aku tidak sempat mengangkat dan menaruh jenazah bapak di liang kubur.

Ada persamaan antara kondisiku dan kondisi tiga anak yang menitipkan ibu kandungnya di panti jompo.

Orang tuaku dan orang tua mereka sama-sama memiliki tiga anak.

Saat ini aku dan mereka sama-sama memiliki satu orang tua, yaitu ibu kandung.

Perbedaannya hanya pada rasa tega kepada ibu kandung.

Mereka tega menitipkan ibu kandung di panti jompo.

Sejak awal aku atau saudaraku tidak pernah berpikir untuk menitipkan ibu kandungku di panti jompo.

Andai ibu mau, aku ingin ibu tinggal di rumahku.

Adikku pun siap mengasuh ibu di rumahnya.

Tapi, ibu memilih tinggal di rumah tua.

"Aku tidak mau merepotkan anak," kata ibuku.

Aku menghargai pilihan ibu.

Makanya aku yang harus sering-sering berkunjung ke rumah tua untuk menjenguk ibu.

Aku tidak bisa rutin mengunjungi ibuku.

Aku hanya berusaha menyisakan waktu untuk mengunjungi ibuku.

Andai waktu bisa terulang, aku ingin kembali ke masa kecil.

Aku ingin melihat kenakalanku dan kesabaran orang tuaku menghadapi kenakalanku.

Tapi, waktu tidak bisa berulang.

Sering kali aku menangis setiap teringat almarhum bapakku.

Ibuku sering becerita soal perjuangan bapakku yang rutin mengunjungi anak-anaknya di pesantren.

Setelah menerima gaji, bapak langsung mengunjungi anak-anaknya.

Bahkan bapak sering tidak pamit ibu untuk mengunjungi anak-anaknya.

Kata ibuku, bapak tidak mau biaya sekolah dan pesantren anak-anaknya tertunggak.

Kadang bapak hanya menyisakan sedikit uang untuk kebutuhan hidupnya.

Baca juga : Anakmu, Anak Kita

"Hanya ada uang segini. Cukup-cukupan untuk kebutuhan sebulan," kata bapakku kepada ibu kala itu.

Aku memang tidak mengenal tiga anak yang tega menitipkan ibu kandungnya di panti jompo.

Aku juga tidak mengenal menantu yang merelakan mertuanya dititipkan di panti jompo.

Andai bisa bertemu, aku akan mengumpat "anak dan menantu sama-sama bangsat".

Comments