Anakmu, Anak Kita
Setelah selesai mengetik, aku bermain di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang.
Kedatanganku ke kantor AJI tanpa tujuan.
Aku hanya ingin ngobrol dengan teman-teman.
Ngobrol inipun tanpa tujuan. Sebatas ngobrol .
Saya memang jarang bermain ke kantor AJI.
Hanya saat ada keperluan atau memang ingin bermain saja baru aku datang ke kantor AJI.
Teman-teman sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
Ada menghadap laptop atau BlackBerry (BB)-nya untuk mengetik berita.
Ada pula yang menghadap laptop tapi untuk bermain game.
Aku datang ke kantor AJI sudah tidak ada tugas atau ketikan.
Semua berita telah kuketik sebelum bermain ke kantor AJI.
Melihat konsentrasi teman-teman, saya hanya bisa melihat televisi.
Televisi swasta sedang menayangkan acara di Jakarta.
Kecelakaan yang ditayangkan bukan kecelakaan biasa.
Lima orang tewas, dan 11 orang lainnya terluka di kecelakaan dini hari tadi.
Di antara korban terluka adalah anak musisi Ahmad Dhani, Abdul Qadir Aljailani atau yang biasa disapa Dul.
Berita itu pun mengulas kronologi kecelakaan.
Dul sedang mengendarai mobilnya.
Mobil yang dikendarai Dul masuk ke jalur yang berlawanan.
Dalam waktu bersamaan, mobil tersebut menabrak mobil dari arah berlawanan.
Kondisi keluarga Dhani sudah bukan rahasia lagi.
Perceraiannya dengan Maia Estianti sudah diekspos media nasional.
Begitu pula perebutan hak asuh anak.
Setelah perceraian ini, anak-anak Dhani sering menjadi bahan berita media massa.
Bukan hanya karena kemahirannya dalam bermusik.
Tapi, masalah yang dilakukan anak-anak Dhani-lah yang membuat media massa memberitakannya.
Sebenarnya aku tidak mau tahu dengan urusan keluarga Dhani.
Tapi, apa yang dilakukan anak Dhani kali ini sangat merugikan orang lain.
Mendengar berita kecelakaan itu, aku teringat dengan kecelakaan di Tugu Tani.
Mobil yang dikendarai Afriyani Susanti menewaskan delapan orang.
Halte bus pun ikut rusak akibat kecelakaan ini.
Keluarga pelaku memang mau bertanggung jawab.
Memberi santunan kepada keluarga yang ditinggalkan, atau menanggung biaya pengobatan bagi korban terluka.
Tapi itu tidak setimpal dengan kesedihan yang dialami keluarga korban.
Apalagi bila korban adalah tulang punggung keluarga.
Keluarga pelaku tidak akan bisa mengganti kerugian immaterial ini.
Menanggung biaya sekolah anak korban sampai perguruan tinggi pun tidak akan mampu menghilangkan kesedihannya.
Meskipun aku bukan berasal dari keluarga broken home, aku memahami perasaan anak dari broken home.
Mereka kurang mendapat perhatian dari salah satu orang tua.
Dhani bisa saja mengklaim telah sukses mengorbitkan anak-anaknya menjadi musisi.
Tapi, dia gagal membangun mental anak-anaknya.
Sebenarnya aku pun kurang perhatian orang tua.
Umurku lebih banyak kuhabiskan di tanah rantauan bersama orang lain daripada di rumah bersama orang tua.
Aku beruntung memiliki orang tua yang sudah mempersiapkan mentalku dengan matang.
Sampai sekarang aku belum pernah mengkonsumsi barang terlarang secara sengaja.
Aku pun merasa belum pernah memiliki masalah besar yang melibatkan orang lain.
Aku adalah anak dari orang tuaku.
Aku bukan orang lain.
Tapi, aku akan menjadi anak orang lain ketika bersinggungan dengan masalah orang lain.
Begitu pula anak orang lain bisa menjadi anakku ketika berurusan denganku.
Lebih baik berurusan positif dengan orang lain daripada berurusan negarif dengan orang lain.
Sangat tepat bila dikatakan bahwa anak muda adalah tulang punggung atau masa depan bangsa.
Comments
Post a Comment