Musim Sedekah Bisa Bikin Pusing
Bagi masyarakat Jawa, bulan Besar atu Dzulhijjah termasuk moment paling menguras
keuangan.
Selama sebulan ini pasti akan banyak orang memiliki hajatan, baik
kawin, khitan, atau lainnya.
Semakin banyak memiliki kenalan, maka semakin
banyak pula menerima undangan.
Bahkan ada yang menerima undangan sampai 10 kali.
Undangan ini sama-sama menguras keuangan, baik bagi pemberi maupun
penerima undangan.
Pemberi undangan atau tuan rumah pasti mengeluarkan banyak
biaya untuk menggelar hajatan keluarganya.
Sedangkan bagi penerima, ‘harus’
mengeluarkan uang untuk menyumbang tuan rumah.
Budaya Jawa identik dengan kebersamaan.
Undangan hajat, misalnya.
Pemberi
undangan seakan mengatakan bahwa dia sedang butuh bantuan keuangan untuk
hajatannya.
Memang saat akan merencanakan hajatan, dia sudah memiliki uang
cukup untuk memenuhi kebutuhannya.
Tapi uang itu belum tentu bukan milik
sendiri.
Sebagaian menggunakan uang hasil utang kepada saudara atau teman.
Uang
itu harus secepatnya dikembalikan agar tidak menjadi beban.
Sedangkan bagi penerima, undangan merupakan sinyal harus memberikan
bantuan keuangan kepada pemilik hajat.
Penerima undangan bebas memberi bantuan
berapapun.
Tuan rumah pun tidak pernah menuntut besaran bantuan keuangan dari penerima
undangan.
Berapapun besaran bantuan pasti akan diterimanya.
Dalam pengalamanku, pemberian bantuan ini tidak benar-benar ikhlas.
Penerima
undangan akan menyesuaikan besaran bantuan yang diberikan dengan bantuan yang
diterima sebelumnya.
Atau penerima undangan berharap akan mendapat sumbangan di
kemudian hari dari pemberi undangan.
Besaran bantuannya pun minimal sesuai yang
diberikan sekarang.
Makanya di setiap amplop sumbangan selalu dicantumkan nama dan asal
pemberi.
Pencantuman ini untuk memudahkan tuan rumah mengidentifikasi pemberi
sumbangan.
Tuan rumah juga mengetahui besaran sumbangan yang diterima dari penerima
undangan.
Ketika nanti giliran penerima undangan menggelar hajat, tuan rumah
tersebut bisa menyesuaikan sumbangan yang harus diberikan.
Bagaimana bila tuan rumah tidak membalas sumbangan tersebut?
Memang tidak
ada sanksi.
Tapi tuan rumah akan mendapat gunjingan.
Tuan rumah akan diabaikan
bila suatu saat menggelar acara lagi.
Bisa jadi bukan hanya satu orang yang
akan boikot terhadap undangan selanjutnya.
Tuan rumah akan dianggap tidak bisa
balas budi, tidak peduli teman, dan sebagainya.
Rekan-rekan lainnya bisa
menjauhi si tuan rumah.
Bila pemberian itu ikhlas, tidak seharusnya dicantumkan nama dan alamat pemberi
sumbangan.
Cukup pemberi dan Tuhan yang mengetahuinya.
Penerima tamu dan orang
lain hanya mengetahui pemberi memasukan amplop di tempatnya.
Tapi tidak ada
yang mengetahui berapa nominal yang ada dalam amplop itu.
Bahkan tidak ada yang
mengetahui bila amplop itu tidak ada isinya atau hanya berisi lembaran koran.
Memang sulit menjadi orang ikhlas.
Tapi karakter
ini harus ditingkatkan.
Pemberi tidak seharusnya selalu berharap menerima sumbangan
sebagaimana yang pernah diberikannya beberapa waktu lalu.
Karena belum tentu orang
yang pernah disumbang mampu mengembalikan apa yang pernah diterimanya.
Comments
Post a Comment