Musuh Bersama Bernama Kemiskinan
Seorang wartawan senior sempat berkata kepadaku.
“Arah
berita ditentukan ketika wartawan menghadap layar komputer.”
Model berita tidak
akan terlihat ketika wartawan berhadapan dengan narasumber, atau perjalanan pulang
menuju kantor.
Berita sentimentil, menghibur, edukasi, dan lainnya bisa muncul
ketika wartawan menuliskan berita.
Dalam diskusi kecil di kantor Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) Malang, Minggu (28/7/2013) sore, masalah independensi dan
idealisme wartawan kembali mencuat.
Sebenarnya tema utama dalam diskusi ini
adalah politik media massa.
Awalnya diskusi mengarah situasi politik yang mempengaruh
kebijakan redaksi.
Lambat laun arah diskusi mengarah ke kebutuhan pokok
wartawan: kesejahteraan.
Wartawan memiliki musuh bersama (common enemy) sebelum reformasi.
Mayoritas wartawan menganggap Suharto
dan kroninya adalah musuh bersama.
Arah politik redaksi pun mengarah ke upaya
membongkar status quo.
Tapi arah politik berbeda ketika rezim Suharto berakhir.
Wartawan terjerat dalam lingkaran politik.
Penguasa tidak mutlak dianggap
sebagai musuh.
Justru event demokrasi dimanfaatkan untuk meraup keuntungan
sebesar-besarnya.
Memang kadang redaksi de
jure masih berpegang teguh pada independensi dan idealisme.
Tapi de facto redaksi menentukan batasan-batasan
yang menentukan wartawan harus melangkah.
Aku teringat seniorku saat mengungkap gelontoran uang
Rp 2 miliar ke setiap media massa di Jatim.
Dana ini dikucurkan setiap tahun dengan
kerja sama pemberitaan iklan atau advetorial.
Artinya dana hanya diperuntukan untuk
liputan kegiatan pemerintah (tentunya sebagai pejabat publik dan tokoh politik).
Media massa pun menyediakan space
khusus untuk pemberitaan kegiatan pemerintah.
Kerja sama ini pasti berdampak pada kerja wartawan.
Tidak
ada lagi idealisme dan independensi.
Saat masih di Bali, aku teringat ucapan seorang
pejabat publik.
“Kamu boleh menulis soal kebobobrokan pemerintah, tapi jangan
menulis soal pribadi pejabat.”
Ucapan ini kembali terdengar ketika aku bekerja
di Jatim.
Artinya sikap kritis wartawan terbatas pada instansi di jajaran
pemerintah.
Sedangkan pemerintahnya tidak boleh disentuh.
Padahal instansi tersebut
merupakan bagian dari pemerintah.
Media massa memang butuh iklan.
Tanpa adanya iklan, media
massa tidak memiliki sumber dana.
Makanya event demokrasi dimanfaatkan untuk
meraup pendapatan setinggi-tingginya.
Bahkan redaksi pun ditarget mendapat penghasilan
selama event demokrasi berlangsung.
Padahal tidak seharusnya redaksi menjadi
sumber penghasilan di media massa.
Kemiskinan di perusahaan pun menjadi momok bagi
wartawan.
Ancaman PHK pasti menghantui.
Agar perusahaan tidak sampai miskin,
wartawan pun bersedia membantu redaksi mencari pemasukan.
Wartawan pun harus
memilah antara narasumber yang bersedia memberi suntikan dana ke redaksi dengan narasumber yang tidak mau memberikan.
Wartawan pasti lebih dekat dengan narasumber yang
bersedia membantu perusahaan.
Sikap ini pun kadang didukung penuh oleh redaksi
dalam pemberitaan.
Narasumber tersebut mendapat space tertentu di media massa.
Kedekatan inilah yang menghilangkan independensi
wartawan.
Bagi narasumber, kedekatan ini bisa menjadi senjata
untuk kekebalan.
Ketika ada masalah tertentu, narasumber bisa memanfaatkan
kedekatannya untuk membungkam wartawan.
Kadang wartawan berusaha bersikap
independen terhadap narasumber yang akrab secara personal.
Bila wartawan tetap
memberitakan masalah tersebut, biasanya narasumber menggunakan kekerasan.
Beberapa
kasus kekerasan terhadap wartawan biasanya dipicu hilangnya sikap indepensi.
Comments
Post a Comment