Penulis Hantu (ghostwriter)

Ada seorang pejabat yang berencana menulis buku tentang tragedi Kanjuruhan. Sang pejabat telah mengumumkan rencana itu kepada wartawan.

Sampai aku menulis coretan ini, buku tersebut belum terbit. Kabar terakhir, naskah dari buku tersebut masih dalam perbaikan. Katanya, naskah dari buku itu masih perlu beberapa tambahan data dan masukan dari pihak lain.

Saat nongkrong dengan teman-teman, beragam pendapat muncul terkait rencana penerbitan tersebut. Ada yang menyebut draft buku tersebut tidak dibuat murni oleh si pejabat.

"Ada temenku yang terlibat dalam penulisan buku itu," kata seorang teman.

Si teman itu terang-terangan menyebut bahwa temannya berperan sebagai penulis hantu atau ghostwriter dari buku yang akan terbit. Dia tidak menjelaskan seberapa jauh keterlibatan temannya dalam penulisan buku itu.

Asumsi atau dugaan ini sangat wajar muncul. Mengingat kesibukan pejabat yang hampir tidak memiliki waktu untuk membuat tulisan. Mungkin mayoritas waktunya habis untuk mengurusi pekerjaan dan keluarganya. Sehingga sangat kemungkinan pejabat meluangkan waktu untuk mengumpulkan data dan membuat tulisan.

Dunia literasi memang tidak asing dengan istilah penulis hantu. Entah mulai kapan fenomena ini mulai muncul. Menurutku, fenomena ini muncul karena adanya dua kepentingan yang berbeda antara si pembuat buku dan si penulis hantu.

Bagi si pemesan, munculnya buku menjadi prestise. Meskipun belum pernah membaca draft buku itu, aku yakin buku akan menceritakan kebenaran versi si pejabat. Buku itu akan membuat nama si pejabat dikenang sebagai orang yang memiliki peran positif dalam peristiwa tersebut.

Buku ini juga bisa menjadi buku putih dari si pjabat maupun instansinya atas peristiwa kelam itu. Apalagi sampai sekarang pro kontra di balik tragedii Kanjuruhan masih belum tuntas.

Bagi si penulis, buku itu seakan menjadi proyek yang bisa menghasilkan pendapatan. Umumnya, si penulis hantu mendapat imbalan dari jasanya dalam pembuatan buku tersebut. Besaran imbalan tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak atau atas kebaikan dari si pejabat.

Dikutip dari cnnindonesaia.com, Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual & Regulasi dari Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (BEKRAF), Ari Juliano Gema mengatakan bahwa hak cipta itu akan menjadi milik si pembuatnya, kecuali ada perjanjian lain di antara kedua belah pihakKalau sudah ada perjanjian, biasanya si pemesan tulisan itu meminta namanya yang dimasukan ke tulisan itu.

Fenomena penulis hantu muncul dari simbiosis mutulisme dari dua kepentingan yang berbeda. Pemesan butuh pencitraan, pengakuan dari pihak lain, prestise, dan sebagainya. Sedangkan si penulis butuh pendapatan atau pengakuan dari si pemesan.

Apapun hasil dari karya tersebut, murni tanggung jawab dari si pemesan. Bila karya tersebut mendapat respon positif atau negatif, si pemesan yang akan mendapatkannya. Si penulis tidak akan pernah mendapat pengakuan itu dari pihak lain.

Comments