Atas-Bawah Kehidupan
Aku mendatangi rumah seseorang tadi siang. Sebelumnya aku belum pernah bertemu
dengannya.
Aku hanya sempat bertemu dengan suaminya beberapa kali.
Sebenarnya aku
malas datang ke rumah itu. Aku sudah mengetahui karakter pemilik rumah.
Mereka tidak
akan mudah menemui orang sepertiku.
Tapi aku harus menemuinya. Aku hanya ingin memastikan informasi yang
kudapatkan sebelumnya tidak salah.
Aku tidak perlu menemuinya. Aku bisa
bertanya kepada orang lain untuk akurasi informasi tersebut.
Aku sudah sempat mendapat
penjelasan dari temanku soal kebenaran info itu.
Aku masih butuh ketegasan dari
orang di rumahnya.
Rumahnya sangat kontras dengan mayoritas bangunan di sekelilingnya.
Sepanjang
jalan yang kulalui menuju rumah itu hanya bengkel, toko, warung, dan sebagaian
lainnya rumah.
Menurutnya, rumah yang ingin kutuju tidak terlalu mewah.
Mungkin
kemewahannya tidak berbeda jauh dengan rumah lainnya.
Tapi pemilik rumah memiliki
berbagai macam unit usaha di Kota Malang.
"Ibu tidak ada,” kata seorang satpam.
Jawaban ini sudah menjawab pertanyaan.
Jawaban ini seperti menegaskan bahwa pemilik rumah bagian dari orang yang pernah
kutemui sebelumnya.
Sudah dua hari ini menulis soal seorang lurah yang ditangkap polisi.
Lurah
ini tertangkap tangan memeras seorang warga.
Si lurah minta uang sebesar Rp 7,4
juta kepada warga demi membubuhkan tanda tangan di atas selembar kertas.
Warga itu
ingin membuat Surat Hak Milik (SHM) atas tanah negara.
Aku baru mengetahui informasi sebenarnya tadi siang.
Lurah itu tidak
memeras orang yang datang menemuinya dan memberikan uang.
Korban pemerasan ini
hanya alat untuk mempolisikan lurah.
Pemilik rumah tersebut ada di balik kasus
ini.
Seluruh berkas ditandatangani oleh pemilik rumah.
"Pelapor adalah pembantu pemilik rumah," kata seorang polisi saat minta penjelasan.
Aku tidak bisa membayangkan. Begitu mudahnya tanah negara berpindah
tangan.
Padahal banyak kasus warga miskin yang menempati tanah negara harus
mati-matian agar bisa bertahan.
Warga miskin harus demonstrasi, menggandeng
wartawan, atau upaya tekanan agar kehidupannya tidak terusik.
Setelah dari rumah itu, aku meluncur ke Terminal Hamid Rusdi.
Aku melihat
seorang sopir membersihkan angkotnya.
Usianya mungkin tidak berbeda jauh dengan
orang yang ingin kutemui sebelumnya.
Mungkin perbedaan mencolok hanya dari segi
gaya hidupnya.
Sopir yang kutemui ini pakaiannya sudah kumal.
Kondisi selembar kain
pembersih yang digenggamnya tidak berbeda dengan pakaian yang dikenakannya.
"Sopir itu hanya mencari tiga hal, yaitu uang setoran, uang bensin, dan
uang sisa," katanya.
Dia harus setoran kepada pemilik mobil sebesar Rp 70.000 per hari.
Uang
ini harus diamankan dulu.
Setelah uang setoran aman, dia harus tetap
menjalankan angkotnya untuk mencari uang bensin.
Terakhir baru sopir angkot
mencari untuk diri sendiri dan keluarganya.
Mungkin sehari hanya bisa membawa
uang sekitar Rp 20.000.
Bahkan kadang tidak membawa uang sama sekali.
Inilah kehidupan. Ada yang mudah mendapat uang.
Ada
pula yang kesulitan mendapat uang.
Tapi inti dari kehidupan bukan mudah atau
sulitnya mencari uang.
Uang bukan sumber ketenangan dan kesenangan.
Uang hanya
media untuk ketenangan dan kesenangan.
Inti kehidupan sebenarnya adalah bagaimana
kita bisa tenang dan senang meskipun tidak ada uang.
Comments
Post a Comment