Sepak Bola (Tak) Profesional

Lapangan ini tidak jauh dari rumahku.

Lapangan ini sudah sering menjadi tempat bermain sepak bola.

Biasanya pemuda kampung bermain bola setiap sore.

Anak-anak pesantren hanya bisa bermain bola setiap Minggu pagi.

Mereka tidak bisa bermain bola pada sore hari karena harus mengaji di pesantren.

Kalau pagi hari, mereka belajar di sekolah.

Setelah tiga tahun menempati rumah, baru kali ini saya benar-benar mengamati permainan sepak bola kampung.

Ada yang mengenakan sarung, ada yang melepas bajunya karena gerah, dan ada pula yang berpakaian lengkap.

Ada pula yangtidak mengenakan sepatu.

Dari para pemain sepa kbola itu, ada dua orang yang membuatku ingin tertawa.

Dua orang ini sama-sama mengenakan satu sepatu.

Satu orang mengenakan di kaki kiri.

Sedangkan pemain lainnya mengenakan di kaki kanan.

Permainan sepak bola ala kadarnya bukan barang baru yang dipertontonkan.

Aku sering bermain sepak bola bersama teman-teman sejak tinggal di Kecamatan Sidayu, Kabupaten Gresik.

Permainan sepak bola ini hanya untuk mengisi waktu luang.

Tidak ada wasit pertandingan, tidak ada batas lapangan, mistar gawang terbuat dari sandal atau baju, dan tidak ada aturan formal lain.

Satu-satunya aturan yang harus dipatuhi adalah kesepakatan.

Gol tergantung kesepakatan, out atau corner tergantung kesepakatan, pelanggaran pun tergantung kesepakatan.

Begitu pula durasi permainan pun tergantung kesepakatan.

Biasanya pertandingan baru berakhir setelah para pemain lelah.

Meskipun tidak ada aturan formal, para pemain akan setuju dengan keputusan yang menjadi keputusan mayoritas pemain.

Permasalahan harus diselesaikan saat itu juga.

Bila tidak bisa diselesaikan, satu dari pemain yang bertikai meninggalkan lapangan.

Tujuannya adalah agar tidak mengganggu permainan.

Bila tidak ada yang meninggalkan lapangan, permainan langsung dihentikan.

Bagi kaum awam, sepak bola adalah olahraga paling murah.

Tidak butuh banyak uang untuk sepak bola.

Lapangan bisa menggunakan lahan kosong.

Bola yang akan digunakan tidak perlu berstandar FIFA atau PSSI.

Harga bola resmi ini pasti sangat mahal.

Bola plastik seharga Rp 3.000 sudah bisa digunakan untuk bermain bola.

Kesederhaan dan sportivitas sepak bola kampung tak bisa berlanjut ketika masuk ke semi profesional atau profesional.

Standarisasi FIFA dan PSSI justru membuat klub harus mengeluarkan banyak uang.

Untuk membeli bola, pasti butuh uang.

Pembinaan usia dini, butuh uang.

Menonton sepakbola, butuh uang.

Semua yang berkaitan dengan sepak bola, harus menjadi uang.

Uang menjadi kebutuhan utama klub.

Segala sesuatu yang diupayakan bisa menjadi uang.

Bahkan moralitas harus bisa diuangkan.

Aku tahu cerita tentang seorang wasit yang baru saja memimpin laga di sebuah turnamen.

Kepemimpinan wasit selama pertandingan banyak kejanggalan.

Tim tuan rumah lebih banyak diuntungkan dibandingkan dengan tim tamu.

Ternyata setelah laga berakhir, wasit itu menghamburkan uangnya di sebuah karaoke.

Beberapa wanita pemandu lagu langsung diboyong.

Menurut kabar yang beredar, wasit itu memborong tiga pemandu lagu lebih.

Seharusnya profesionalisme membuat sesuatu menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Tapi, profesionalitas justru membuat sesuatu lebih buruk dari sebelumnya.

Bukan hanya dalam hal sepak bola.

Profesionalisme sering dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.

Padahal profesionalisme itu bukan mengabdi kepada satu atau dua orang.

Profesionalisme pun tidak mengabdi kepada atasan atau orang lain.

Profesionalisme ada untuk mendorong masyarakat menjadi lebih baik.

Ketika tidak bisa lebih baik dari sebelumnya, bukan berarti profesionalisme harus dihapus.

Profesionalisme harus tetap ada.

Tanpa adanya profesionalisme, segala sesuatu sulit berkembang.

Butuh kesadaran semua pihak untuk menjadikan profesionalisme tetap menjadi yang terbaik.

Comments