Haji Samanhudi Dirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo, 16 Oktober 1905

Pedagang batik Cina mendominasi perdagangan selama Belanda, termasuk di Solo.

Untuk menghadapi dominasi pedagang Cina, Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo pada 16 Oktober 1905.

Awalnya SDI seperti koperasi bagi pedagang pribumi.

Tujuan utama pembentukan SDI adalah mengumpulkan para pedagang pribumi untuk menandingi pedagang Cina.

Berdirinya SDI mendapat tanggapan positif dari pedagang muslim di daerah lain.
Pedagang muslim di daerah lain pun langsung mengembangkan organisasi serupa di daerahnya.

Tirtoadisuryo mendirikan SDI di Bogor. Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto pun mendirikan di Surabaya.

Tapi Belanda semakin khawatir dengan perkembangan SDI. Beragam cara pun dilakukan untuk memecah-belah SDI.

Belanda mendekati Tirtoadisuryo untuk membentuk organisasi serupa.

Akhirnya berdirilah Sarekat Dagang Islamiyah di Jakarta pada tahun 1909.

Belanda pun mengucurkan sejumlah bantuan keuangan ke SDI pimpinan Tirtoadisuryo.

Sayangnya kucuran dana ini tidak membuat SDI pimpinan Tirtoadisuryo berkembang.

Lambat-laun pimpinan SDI Tirtoadisurya bubar karena tidak mendapat simpati dari pedagang lain.

Sebaliknya SDI pimpinan Samanhudi bertambah besar dan anggotanya bertambah banyak.

Bahkan anggota SDI pimpinan Samanhudi tidak hanya berasal dari kalangan pedagang.

Untuk menampung aspirasi anggotanya, SDI berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI) pada tahun 1912 dalam Kongres pertama di Surabaya.

SDI sudah beralih pimpinan dari Samanhudi ke Tjokroaminoto saat pergantian nama.

Selain Tjokroaminoto, Abdul Muis dan H Agus Salim juga ikut membidani perubahan nama SDI menjadi SI.

Perubahan nama ini berdampak pada orientasi organisasi.

Bila sebelumnya hanya melingkupi ekonomi, sekarang berorientas ke politik, akademik, dan sebagainya.

Kongres ini pun memperkuat visi dan misi sebelumnya.

Kongres SI partai politik. SI pun bukan wadah untuk melawan pemerintahan Hindia Belanda.

Untuk memperkuat status organisasi, pimpinan SI pernah mengadakan pertemuan dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Alexander Willem Frederik Idenburg pada 1913.

Tujuan pertemuan ini adalah untuk memperjuangkan badan hukum SI.

Sayangnya Pemerintah Hindia Belanda tidak mau memberikan badan hukum kepada SI.

Badan hukum hanya diberikan kepada cabang SI di daerah.

Visi dan misi SI baru berubah dalam Kongres VIII di Madiun pada 1923.

Kongres sepakat SI bergerak di bidang politik.

Namanya pun berubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). Banyak yang menduga perubahan visi dan misi ini sebagai manuver Tjokroaminoto.

Pasca perebutan hegemoni dan dominasi di internal SI dengan SI Merah, Tjokroaminoto butuh menunjukan kualitas politiknya.

Selain itu, perubahan visi dan misi ini untuk menunjukan kepeloporan dalam pergerakan.

Arah politik PSI semakin jelas pada tahun 1929.

PSI mulai memperjuangkan kemerdekaan bagi Indonesia.

Untuk memperjelas tujuan ini, di belakang nama PSI dicantumkan kata ‘Indonesia’ atau yang biasa disingkat menjadi PSII.

Akibat keragaman dalam cara pandang mengelola partai, PSII pecah menjadi beberapa partai.

Agus Salim keluar dari PSII dan mendirikan Badan Penyadar Partai Sarekat Islam Indonesia (BPPSII) pada 1937.

Pada tahun 1938, giliran Sukiman yang mengundurkan diri dari PSII dan membentuk Partai Islam Indonesia (PII).

Sedangkan PSII sendiri tetap eksis.

Bahkan PSII ikut pemilihan umum (pemilu) yang digelar setelah kemerdekaan dan meloloskan beberapa kadernya menjadi anggota DPR.

Comments