Subsidi yang Selalu Gagal

Seorang mahasiswi masuk karaoke keluarga bersama teman-temannya.

Tas nya masih menempel di bahu.

Mereka baru saja pulang dari kampus.

Mereka memilih langsung mampir di karaoke demi efisiensi waktu.

Bila kembali ke kos dulu, mereka tentu membuang tenaga.

Apalagi lokasi karaoke hanya beberapa meter dari kampusnya.

Sedangkan kos-nya lebih jauh.

Penampilannya tak berbeda dengan mayoritas mahasiswi.

Tidak ada perhiasan mencolok.

Secara sepintas, sudah bisa diketahui dia bukan berasal dari keluarga kaya.

Hanya kulitnya yang lebih bersih dibandingkan teman-temannya.

Dia mengenakan jilbab sebagaimana sebagaian kecil mahasiswi di kampusnya.

Melihat gaya hidupnya, tidak ada yang menyangka bila dia berasal dari keluarga tidak mampu.

Ibunya menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri.

Aku tidak tahu pasti di negara mana ibunya bekerja.

Aku juga tidak tahu apa pekerjaan ayahnya.

Dia adalah sulung dari dua saudara.

Adiknya masih sekolah setingkat SLTA.

Dibandingkan lulusan SLTA dari keluarga kurang mampu lainnya, dia masih beruntung bisa kuliah.

Dia masuk melalui jalur Bidik Misi, yaitu Beasiswa Pendidikan bagi Mahasiswa Berprestasi.

Sebagaimana mahasiswa Bidik Misi lainnya, dia berhak mendapat bantuan sekitar Rp 600.000 per bulan.

Dia karaoke memang tidak setiap hari.

Kalau ada yang mengajak atau ingin karaoke, dia baru berangkat.

Setahuku tarif karaoke di tempat langganan mahasiswi itu sebesar Rp 250.000 per jam.

Tarif ini sangat murah bila ditanggung bersama.

Bila sekali karaoke diikuti lima orang, berarti setiap orang hanya mengeluarkan uang sebesar Rp 50.000.

Mendengar kebiasaan mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) di Kota Malang ini, aku teringat kejadian pada awal Mei 2013 lalu.

Mahasiwa penerima Bidik Misi di PTN lainnya mengeluh.

Mereka tidak mendapat kucuran dana dari kampus selama empat bulan.

Padahal uang dari kampus ini digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.

Aku tidak tahu pernyataan itu hanya alasan atau memang benar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Melihat kebiasaan mahasiswi yang kukenal itu, aku ragu uang beasiswa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Aku yakin orang tua mahasiswa penerima Bidik Misi pasti tetap mengirim uang setiap bulan.

Tanpa kucuran dana beasiswa, mereka bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Apalagi kebutuhan hidup mahasiswa tidak sebanyak pekerja atau orang yang sudah berkeluarga.

Aku juga mengenal beberapa mahasiswa yang berasal dari keluarga kurang mampu.

Kehidupannya sangat sederhana.

Sehari makan dua kali sudah beruntung.

Mereka lebih sering makan sekali.

Banyak pula yang memilih puasa agar uang kiriman orang tuanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama sebulan.

Mereka pun tidak senang jalan-jalan di mall, karaoke, atau kehidupan hedonis lain.

Waktu senggangnya lebih banyak dihabiskan di kos daripada di luar.

Dibandingkan mahasiswi penghobi karaoke itu, mahasiswa sederhana itu yang seharusnya mendapat beasiswa.

Pemerintah melalui kampus mungkin mempertimbangkan prestasi daripada realitas kehidupan mahasiswa dan keluarga.

Dibandingkan mahasiswa itu, mahasiswa sederhana itulah yang butuh bantuan.

Mungkin mereka perlu uang untuk membeli buku, atau kebutuhan kuliah lainnya.

Indonesia memang dipenuhi subsidi dari pemeirntah.

Apalagi menjelang pemilihan presiden (Pilpres), pemilihan gubernur (Pilgub), pemilihan wali kota (Pilwali), atau pemilihan bupati (Pilbup).

Beragam jenis bantuan atau subsidi mengucur.

Setiap kali subsidi dikucurkan, pasti kurang tepat sasaran.

Di Madura pernah ada wartawan yang menerima Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).

Bukan berarti kebutuhan hidup wartawan terpenuhi dari pendapatannya per bulan.

Tapi masih ada penduduk yang lebih butuh BLSM dibandingkan wartawan itu.

Makanya si wartawan menyerahkan dana BLSM kepada orang yang dianggap lebih miskin.

Warga miskin memang butuh bantuan.

Bukan hanya warga sekitar yang harus membantunya.

Pemerintah pun harus membantu warga miskin.

Memberi bantuan dana tunai sangat riskan penyelewengan.

Apalagi di beberapa daerah, subsidi untuk warga miskin sering dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan.

Subsidi untuk warga miskin dipangkas dengan beragam alasan, di antaranya uang foto kopi KTP dan KK.

Tapi, pemberian bantuan tunai tidak menyelesaikan masalah.

Bantuan tunai hanya membuat warga miskin semakin terpuruk dengan kemiskinannya.

Warga miskin biasanya langsung memanfaatkan uang subsidi untuk membeli kebutuhan sekunder atau tersier.

Meskipun digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, uangnya sudah habis dalam waktu kurang dari 10 hari.

Setelah 10 hari berlalu, mereka akan kembali menjadi orang miskin yang tidak memiliki uang tunai.

Seandainya aku menjadi warga miskin yang berhak mendapat bantuan, aku lebih senang diberi modal untuk usaha.

Modal tidak harus dalam bentuk uang tunai.

Modal ini bisa berupa barang yang bisa dijual atau bahan mentah yang bisa diolah.

Dari usaha inilah aku bisa makan, dan durasi habisnya lebih lama dibandingkan bantuan tunai.

Comments