Massa yang Sulit Dikendalikan

Aku baru saja menyaksikan pertandingan sepakbola di Malang.

Semua suporter sudah pulang.

Suasana stadion sudah sepi.

Beberapa orang masih bermain di pelataran parkir stadion.

Asumsiku, mereka para suporter yang baru saja menyaksikan pertandingan.

Mereka adalah warga yang menghabiskan waktunya dengan bermain di stadion.

Aku sedang nongkrong di areal stadion.

Sambil menikmati kopi susu, aku menulis berita hasil pertandingan.

Beberapa wartawan juga ada di sini.

Tapi hanya sebagaian kecil.

Mayoritas wartawan langsung pulang.

Ada yang memilih menulis berita di kos.

Ada pula yang menulis berita di kantor.

Penjual kopi bercanda dengan istrinya.

Dia bercerita tentang banyaknya minuman yang sudah habis.

“Yang beli satu, tapi yang minum banyak. Minumannya cepat habis,” katanya.

Istrinya hanya diam.

Aku pun tersenyum sendiri sambil melanjutkan tugas.

Dalam hati aku hanya bisa merasa panggang untuk penjual kopi ini.

Aku yakin bukan hanya kali ini dia mengalami kejadian seperti ini.

Hampir setiap ada pertandingan, pasti banyak massa yang datang.

Sebagaian membeli makanan ringan atau minuman.

Sebagaian lagi juga menikmati, tapi tidak membayarnya.

Aku memang sering nongkrong di warung ini.

Bukan hanya saat tim ini bertanding.

Bahkan setiap aku mampir ke stadion, aku selalu ngopi di warung ini.

Kadang kalau kebetulan ada di dekat stadion, aku pun ngopi di sini.

Aku lebih sering ngopi bersama teman daripada sendirian.

Meskipun sudah sekitar dua tahun aku mengenalnya, aku tidak mengetahui rumah pemilik warung.

Aku hanya bertemu di warung kopi miliknya.

Aku tidak pernah bermain di rumahnya.

Dia pernah mengungkapkan lokasi rumahnya. Tapi aku sudah lupa.

Aku yakin dia berasal dari keluarga sederhana.

Aku mengetahui dari penampilannya.

Pakaian yang dikenakan tidak terlalu mencolok.

Istrinya pun tidak pernah mengenakan perhiasan mencolok.

Begitu pula dua anaknya.

Aku sangat prihatin ceritanya.

Suporter yang datang ke warungnya pasti tidak melihat kesederhanaannya.

Sebagaimana kelompok massa lainnya, suporter pun mudah latah.

Artinya massa mudah mengikuti tindakan seseorang.

Apalagi bila tindakan itu terlihat mengasyikan atau menguntungkan.

Tidak mengherankan perilaku semua suporter hampir sama.

Beberapa suporter memang pernah mendapat predikat terbaik.

Tapi predikat ini tidak mewakili seluruh anggota suporter.

Aku teringat kebakaran di Ocean Garden saat ulang tahun ke-26  Arema pada  11 Agustus 2013.

Beberapa saksi mengungkapkan pelempar mercon ke restoran itu adalah seseorang berpakaian suporter.

Tapi mayoritas kelompok pendukung itu menolak bila dikatakan pembakar restoran itu adalah bagian dari pendukung.

Mereka lebih senang mengatakan pembakar adalah oknum suporter.

Memang sulit mengatakan bahwa pembakar restoran itu adalah benar-benar suporter atau hanya simpatisan.

Hanya penyelidikan kepolisian dan keputusan pengadilan yang bisa memastikannya.

Sayangnya sampai sekarang hasil penyelidikan kepolisian masih belum keluar.

Aku pun tidak mau berasumsi pembakar itu adalah suporter atau simpatisan.

Menurutku, kerumunan massa memang sulit dikendalikan.

Biasanya ada satu orang yang bertanggung jawab terhadap perilaku massa.

Aku yakin penanggungjawab ini tidak bisa mengendalikan seluruh aktivitas anggota massa.

Comments