Kowa-kowo Dadi Wong Ilang (3-Habis) : Bertemu Dosek Killer yang Humanis

Dalam perjalanan menuju Malang dari Jakarta, Sabtu (31/8/2013) lalu, aku duduk bersebelahan dengan dosen Universitas Negeri (UIN) Malang, Dr Saad Ibrahim MA.

Aku sudah lama tidak bertemu dengan dosen ini.

Kalau tidak salah, aku terakhir kali bertemu pada 2005 atau 2006 lalu. Saat itu aku mengambil mata kuliah Ilmu Mawaris.

Dia duduk di kursi nomor 11 C.

Sedangkan aku duduk di kursi nomor 11 B.

Dia sudah duduk di kursinya saat aku akan duduk.

Wajahnya masih kukenal. Terutama rambutnya yang sudah memutih.

Saat pertama kali bertemu di kampus, rambutnya memang sudah memutih.

Rambut putih inilah yang sering menjadi bahan tertawaan teman-teman.

Aku tidak langsung menyapanya.

Dia berbincang dengan penumpang wanita di kursi nomor 10 A yang ternyata juga mahasiswa UIN Malang.

Di sela dia berbincang, dia mempersilakan aku duduk di bangku sebelahnya.

Setelah penumpang wanita itu kembali duduk, baru aku menyalami dan menyapanya.

Dia juga baru saja dari Jakarta.

Ada acara, katanya. Aku lupa acaranya.

Lokasinya dekat dengan lokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang kuikuti.

Dari dosen inilah aku mengetahui sedikit perubahan di UIN sekarang.

Mantan Dekan Syariah, Khusnut Thamrin mengambil pensiun sebelum masanya.

Thamrin mencalonkan diri menjadi anggota DPR RI dari Partai Amanat Nasional (PAN).

Posisinya digantikan oleh Roibin.

Aku tidak menyangka dengan perubahan ini.

Aku mengira Thamrin tidak senang bergelut dengan politik.

Aku mengenalnya sebagai dosen yang santun, dan paling enak diajak komunikasi.

Selama berbincang denga Thamrin dulu, dia tidak pernah mengungkap soal politik.

Bahkan dia cenderung menjauh ketika diajak berbicara masalah politik.

Sekalipun menyinggung masalah politik, mungkin hanya dari segi etikanya.

Perubahan yang tidak aku kira lainnya adalah kursi Dekan Syariah dipegang Roibin.

Saat aku masih kuliah, Roibin termasuk masih muda.

Usianya mungkin tidak terlalu jauh denganku.

Kuperkirakan sekarang dia masih berusia sekitar 40 tahunan.

Orangnya memang lebih simple dalam memberlakukan aturan kuliah.

Pendapat mahasiswa lebih dihargai daripada kehadiran mahasiswa.

Apapaun perubahan itu, aku menghargainya. Itu adalah pilihan.

Thamrin mungkin ingin melakukan perubahan melalui jalur parlementer.

Sedangkan Roibin pasti tidak ingin kariernya hanya terhenti menjadi dosen biasa.

Semua adalah hasil kerja keras yang dilakoninya dari tahun ke tahun.

Aku pun tidak menyangka dengan dosen yang kuhadapi di pesawat.

Di mata teman-temanku, Saad termasuk dosen killer.

Dia dikenal paling pelit memberikan nilai B atau A.

Mayoritas mahasiswa mendapat nilai C.

Bahkan mahasiswa yang pernah mbolos, meskipun hanya sekali, kemungkinan besar mendapat nilai D.

Tapi, Saad memang harus dihadapi.

Setiap pergantian semester dan mata kuliah Ilmu Mawaris ditawarkan, pasti dipegang Saad.

Kelihatannya saat itu Fakultas Syariah tidak memiliki dosen Ilmu Mawaris selain Saad.

Jadi mahasiswa terpaksa harus selalu berhadapan dengan Saad bila ingin lulus kuliah.

Karena, Ilmu Mawaris termasuk mata kuliah wajib yang harus diambil mahasiswa.

Seingatku, aku mengambil mata kuliah Ilmu Mawaris sampai tiga kali.

Selama perbincangan sambil menunggu pesawat take off, tidak terlihat bahwa dia adalah dosen killer.

Dia terlihat sangat humanis.

Sesekali dia tertawa penuh kharisma.

Cara berbicaranya pun sangat kalem, sama seperti saat mengajar di kelas kuliah.

Perbincangan tidak hanya melulu masalah romantisme masa kuliah.

Kondisi keluarga, aktivitas sekarang, dan sebagainya pun diperbincangkan.

Beberapa menit menjelang take off, dia tertidur.

Kuperhatikan cara tidurnya sangat tenang.

Aku tidak menyangka orang seperti Saad bisa dikenal sebagai dosen killer.

Setiap kampus pasti ada dosen yang dinilai sangat killer.

Sebagaimana karakter lain, killer sangat relatif.

Setiap mahasiswa memiliki parameter berbeda soal dosen killer.

Dosen yang dianggap killer oleh mayoritas mahasiswa, belum tentu dianggap killer oleh sebagaian mahasiswa lain.

Begitu pula dosen ramah, humanis, dan sebagainya. penilaian tergantung mahasiswa.

Tiba di Bandara Abdurahman Saleh, aku tidak sempat pamit.

Aku sempat melihat Saad masuk ke konter pemesanan taksi.

Aku memilih langsung meninggalkan bandara.

Apalagi saudaraku menunggu di luar bandara.

Aku hanya berharap bisa bertemu dengan Saad atau dosen lainnya di lain waktu.

Mereka-lah yang berjasa membentuk karakterku seperti sekarang.

Comments