Ketika Wanita Bekerja (I)

Sudah lama aku tidak berkunjung ke rumah saudara di Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.

Padahal rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahku.

Kalau naik motor, mungkin hanya butuk sekitar 10 menit.

Aku jarang berkunjung karena hampir tidak memiliki waktu luang.

Aku nyaris tidak ada hari libur.

Memang aku kadang bisa libur.

Tapi, aku lebih senang menikmati liburan untuk memanjakan diri.

Dia memintaku menginap di rumahnya malam kemarin.

Katanya, dia butuh motor untuk ke pasar.

Aku memenuhi permintaannya meskipun berat menginap di rumahnya.

Sekalian saya ingin mencari suasana lain dengan tidur di tempat lain.

Aku tiba sekitar pukul 08.00 WIB.

Semua anggota keluarga di rumah itu masih belum tidur.

Aku tidak tahu kakakku sudah tidur apa belum.

Rumah kakakku berad di bagian belakang rumah tersebut.

Kelihatannya kakakku sudah tidur.

Tidak terdengar suara dua anaknya yang masih kecil.

Padahal biasanya suara dua anak ini sering menyambut kedatanganku.

Mereka sudah sangat dikenal dengan suara motorku.

Aku pun tidak langsung tidur.

Aku nongkrong dulu degan anggota keluargaku.

Di sela nongkrong inilah mereka bercerita tentang kakakku.

Kakakku ini seharusnya masih berada di Ngawi.

Sesuai target perusahaan, dia harus berada di Ngawi minimal dua pekan.

Tapi dia baru empat hari berada di Ngawi.

Sekarang dia pulang dengan membawa motor perusahaan yang sempat dibawa ke Ngawi.

Bukan cerita tentang ini yang menjadi inti pembicaraan.

Seorang anggota keluarga yang bercerita tentang kelakuan istri kakakku.

Sejak kakakku keluar kota, istri kakaku sering pulang malam.

Minimal pulang sekitar pukul 20.30 WIB.

Bahkan pernah pulang di atas pukul 21.00 WIB.

Sempat terdengar istri kakakku ini selingkuh dengan rekan kerjanya.

Setelah pulang kerja, dia tidak langsung pulang.

Sering kali dia jalan-jalan dan baru pulang setelah pukul 21.00 WIB.

Padahal dua anaknya dititipkan di rumah neneknya.

Kakakku sudah mengetahui perselingkuhan ini.

Menurut anggota keluargaku, kakakku cenderung mengalah dan tidak banyak bicara kepada istrinya.

Kakakku memberi kebebasan kepada istrinya.

Bahkan kakakku bebas memilih antara mengharmoniskan keluarga atau menghancurkannya.

Bukan hanya kakakku yang mengetahui perselingkuhan ini.

Bahkan anaknya masih duduk di bangku SD pun sudah mengetahuinya.

Anak sulung ini pernah diajak bermain bersama selingkuhan istri kakakku.

Dia pun bercerita kepada kakek dan neneknya.

Setelah aku telusuri, penyebab kakakku tidak banyak bicara karena gajinya lebih kecil dibandigkan istrinya.

Bahkan dia pernah bilang ke saya bahwa dia mencari suami yang gajinya lebih besar.

Aku sangat sakit hati mendengar ucapan istri kakakku.

Apalagi yang dia adalah kakakku.

Di sisi lain, ucapan ini tidak menghargai hasil kerja kakakku.

Minimnya pendapatan kakakku inilah yang menyebabkan istrinya ikut bekerja di sektor publik.

Idealnya suami menjadi tulang punggung keluarga.

Tidak masalah istri membantu menjadi tulang punggung keluarga.

Aku lebih setuju istri bekerja di sektor non-formal.

Bagaimana pun anak butuh perhatian orang tuanya.

Bila ayah tidak ada di rumah, masih ada ibu yang bisa memberi perhatian kepada anak.

Berapapun pendapatan suami atau istri, tidak perlu dipermasalahkan.

Aku yakin pendapatan suami atau istri bukan untuk diri sendiri.

Mereka rela bekerja apapun untuk memenuhi kebutuhan hidup dan demi masa depan anaknya.

Comments