Akhir Lingkaran Politik Sepak Bola

Seharusnya hari ini laga Arema LPI lawan Pro Duta digelar di Stadion Gajayana, Kota Malang.

Laga digelar pukul 15.30 WIB.

Kedua tim sudah tiba di Stadion Gajayana sekitar sejam sebelum  kick off .

Begitu pula perangkat pertandingan. Beberapa orang penonton pun sudah duduk manis di tribune VIP.

Pertandingan belum digelar pada pukul 16.00 WIB.

Seorang mengatakan kemungkinan besar laga tidak digelar.

Perangkat pertandingan tidak mau menjalankan tugasnya alias mogok.

Aku pun turun ke lapangan.

Pendamping pemain dan pembawa bendera FIFA hanya duduk-duduk di pintu masuk lapangan.

Pemain dan ofisial kedua tim mondar-mandir keluar-masuk lapangan.

Seorang ofisial mengatakan perangkat pertandingan masih rapat.

Tidak tahu apa yang dirapatkan. Padahal laga harus segera digelar.

Aku masuk ke Mix Zone alias Zona Campuran.

Ternyata pemain, ofisial, petugas keamanan berkumpul di sini.

Manajemen kedua tim, dan perangkat pertandingan masih berkumpul di ruang rapat.

Tidak jelas apa saja yang dibicarakan.

Tidak ada jendela untuk menguping bahan pembicaraannya.

Pintunya pun tertutup rapat.

Beberapa kali ada orang keluar ruangan.

Tapi, pintu itu kembali tertutup.

Di sela menunggu kejelasan inilah baru ada kepastian bahwa laga ditiadakan.

Perangkat pertandingan memang mogok.

Alasannya PT LPIS belum membayar gaji perangkat pertandingan.

Ada yang belum dibayar setelah memimpin 11 laga, dan ada pula yang belum dibayar setelah 12 laga.

Aku sempat bertanya besaran gaji yang diterima perangkat pertandingan setiap laga.

Aku sangat kaget mendengar besaran gajinya.

Pengawas pertandingan (PP) dan wasit mendapat gaji sebesar Rp 5 juta per laga.

Sedangkan asisten wasit mendapat gaji sebesar Rp 3,5 juta.

Bisa dibayangkan bila sepekan ada dua laga di Malang.

Apalagi di Malang ada dua klub yang berlaga di Liga Prima Indonesia (LPI) 2013, yaitu Persema, dan Arema LPI.

Mendengar cerita itu, aku teringat dugaan suap yang melibatkan beberapa wasit.

Aku pernah mendengar langsung seorang manajer klub menyuap wasir agar timnya diuntungkan.

Memang dalam pertandingan, keputusan wasit banyak yang janggal.

Akhirnya klub yang menyuap wasit itu meraih kemenangan.

Saat pertama kali digulirkan pada 2010 lalu, LPI mengklaim akan mewujudkan kompetisi yang bersih dan profesional.

Beberapa klub memang tertarik ikut kompetisi ini.

Persibo Bojonegoro, PSM Makassar, dan Persema termasuk klub yang memilih LPI.

Sebelumnya ketiga klub ini ikut kompetisi di Liga Super Indonesia (LSI).

Setelah sempat dianggap sebagai kompetisi ilegal, kelompok LPI berhasil mengambil alih PSSI pada 2011 lalu.

Aku pun mendengar kabar tak sedap selama proses pengambil-alihan kekuasaan ini.

Setiap pemegang suara Kongres PSSI mendapat kucuran dana.

Jumlah pastinya aku lupa. Kalau tidak salah, besaran dana yang diterima setiap pemegang suara sebesar Rp 50 juta.

Tapi, itu hanya kabar burung.

Tidak ada yang bisa memastikan kabar tersebut benar atau tidak.

Sepak bola memang identik dengan olahraga.

Bagi pemerintah pun sepak bola menjadi cabang olahraga (cabor).

Bahkan cabor ini dianggap paling favorit dibandingkan cabor lainnya.

Meskipun lama tidak berlaga di World Cup atau Piala Dunia, cabor ini tetap menjadi anak emas.

Maklum penggila bola di Indonesia lebih banyak dibandingkan penggemar cabor lain.

Besarnya animo masyarakat inilah yang menyebabkan sepak bola pun identik dengan politik.

Pentas politik di sepak bola tak ubahnya seperti pentas politik perebutan kursi presiden, gubernur, atau wali kota/bupati.

Orang yang terlibat di kepengurusan PSSI pun banyak merangkap sebagai anggota parpol.

Minimal orang itu adalah pengusaha.

Sama seperti di politik, karena sama-sama butuh mengeluarkan banyak dana untuk mempertahankan kekuasaan atau menjatuhkan kekuasaan.

Semua pihak yang terlibat di sepak bola pasti pernah terlibat dalam politik sepak bola.

Bukan hanya di organisasi sepak bola saja.

Di internal klub pun pasti ada politisisasi.

Pemain yang hanya berkecimpung di lapangan pun bisa bermain politik sepak bola.

Begitu pula suporter yang seharusnya mendukung tim, kadang terlibat dalam politik.

Tidak mudah menjadikan sepak bola bebas dari politik atau politisi.

Sepak bola baru bisa bebas dari politik atau politisi ketika animo masyarakat merosot.

Atau ketika sepak bola hanya murni menjadi olahraga.

Tidak ada lagi perebutan kekuasaan untuk mengendalikan organisasi sepak bola.

Tidak ada massa yang bisa dikerahkan.

Comments