Mereka yang Tidak Diinginkan

Aku kembali menuliskan berita soal pembuangan bayi.

Kali ini bayi yang baru dilahirkan dibuang di lahan kosong.

Belum diketahui pembuang dan orang tua dari bayi tersebut.

Penemunya langsung menyerahkan bayi itu ke RS untuk dirawat.

Belum ada orang yang tertarik mengadopsinya.

Kelahiran bayi-bayi malang seperti itu memang tidak diinginkan.

Bayi malang itu biasanya lahir dari rahim yang belum terikat perkawinan, baik kawin resmi maupun kawin siri.

Bisa jadi orang tuanya melakukan hubungan perselingkuhan.

Hubungan di luar perkawinan ini belum tentu atas dasar suka sama saja.

Bisa saja ibu bayi malang itu korban pemerkosaan.

Aku tidak menyalahkan ibu yang tidak menghendaki kelahiran anaknya.

Ibu korban pemerkosaan pasti tidak ingin menanggung aib atas kelahiran anak yang tidak diinginkan.

Tapi mereka pun tidak mau membunuh buah hatinya hanya untuk menjaga harga dirinya.

Membuang dengan harapan ada orang yang menemukan buah hatinya dianggap solusi paling baik.

Aku sengaja menggunakan kata ‘perkawinan’ daripada ‘pernikahan’ dalam tulisan ini.

Bagi orang awam, ikatan yang didaftarkan di KUA atau kantor catatan sipil adalah pernikahan.

Sedangkan hubungan badan yang dimaksud perkawinan disamakan dengan binatang.

Artinya, tidak perlu pendaftaran ke KUA atau kantor catatan sipil, atau seremonial keagamaan.

Padahal dalam tata perundang-undangan di Indonesia, tidak ada istilah pernikahan.

UU 1/1974 pun menyebutkan perkawinan, bukan pernikahan.

Dalam UU ini, yang dimaksud Perkawinan adalah Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Setiap orang yang kawin pasti menginginkan kehadiran buah hati.

Tapi, tidak semua pasangan suami-istri mendapat anugerah ini.

Ada pasangan suami-istri yang sudah kawin selama puluhan tahun, tapi belum dikaruniai anak.

Untuk menyalurkan hasrat mencintai anak, pasangan ini biasanya mengadopsi anak.

Mengadopsi dari sanak keluarga atau orang lain bisa dilakukan.

Tapi, kehadiran anak adopsi pasti berbeda dengan anak kandung.

Anak adopsi cenderung ‘dilupakan’ saat anak kandung sudah hadir.

Orang tua pasti tidak akan bisa menyayangi anak adopsi sebagaimana anak kandung.

Hak materi memang bisa disamakan.

Tapi hak kasih sayang dari orang tua tidak akan bisa disamakan.

Inilah yang harus dipikirkan para pembuang bayi.

Memang kehadiran bayi malang itu tidak diinginkan oleh ibu maupun dan keluarganya.

Tapi tidak seharusnya bayi malang itu dibiarkan diadopsi orang lain.

Alangkah baiknya bila bayi malang itu dititipkan ke sanak familinya.

Setelah ibunya siap mental mengasuhnya, baru bayi malang itu dipelihara sendiri.

Bagiku, pembuang bayi masih memiliki kasih sayang.

Kehadiran buah hatinya memang tidak diinginkan.

Tapi, mereka masih berpeluang berjumpa dengan buah hatinya.

Berbeda dengan ibu yang membunuh anaknya sebelum lahir alias aborsi.

Selain tidak memiliki peluang berjumpa dengan buah hatinya, peluang kontraksi di rahim juga sangat besar.

Artinya, peluang mereka memiliki anak lagi di kemudian hari sangat kecil.

Sekalipun nanti masih memiliki anak, bisa saja anaknya tidak normal atau ada kelainan.

‘Permata yang Hilang’, begitu kata Pas Band.

Lagu ini memang tidak bercerita soal anak yang tidak diinginkan orang tuanya.

Tapi, anak adalah permata bagi keluarga.

Anak yang dibuang bagaikan permata yang hilang.

Selamat Tidur, Permata yang Hilang!!!

Comments