Antara Hedonisme dan Pragmatisme
Hedonisme
sering dipandang negatif oleh manusia.
Dalam bahasa filsafat, hedonisme adalah bagian dari muara tujuan
hidup manusia.
Orang akan merasa bahagia bila selalu mencari kesenangan, dan menghindari
perasaan yang menyakitkan.
Secara
etimologis, tidak salah orang memandang hedonisme dengan pandangan negatif.
Hedonisme
biasa disematkan pada orang yang hanya mengejar kesenangan.
Saat masih duduk di
bangku kuliah, aku pun sering menjustifikasi mahasiswa tertentu dengan sebutan mahasiswa
hedon.
Justifikasi ini aku berikan setelah melihat pola dan gaya hidup
mahasiswa tertentu.
Tidak
ada salahnya melakoni hedonisme.
Tapi hedonisme tidak hanya memburu kesenangan
tanpa batas.
Folosof Yunani, Aristippu (433 SM-355 SM), dan Epikuros (342 SM-270
SM) tidak memandang hedonisme adalah mencari kesenangan tanpa batas.
Perburuan kesenangan
harus dibatasi agar bisa merasa senang.
Apalagi manusia memiliki rasa
bosan atas kesenangan monoton.
Inilah
pentingnya kontrol.
Tidak ada salahnya hobi menonton film, jalan-jalan di mal,
makan enak, dan kesenangan lain.
Tapi kesenangan ini harus dikontrol.
Setiap hari
menonton film pasti akan menjenuhkan.
Selalu menonton juga akan mengabaikan
kewajiban lain.
Padahal manusia memiliki tanggungjawab lain, seperti pekerjaan
atau rumah tangga.
Pengendalian
hedonisme bisa dilakukan melalui kesadaran fungsi manusia (pragmatisme).
Dalam filsafat,
pragmatisme berarti kebenaran dilihat berdasar fungsi sesuatu.
Artinya segala
sesuatu dilihat bukan dari segi bentuknya, tapi fungsinya.
Manusia
di kehidupan sosial memiliki beragam fungsi.
Ketika berada di rumah, manusia
bisa berfungsi sebagai ayah, ibu, atau anak.
Ketika berada di lingkungan, manusia
bisa menjadi pejabat atau warga biasa.
Ketika di dunia kerja, manusia bisa
menjadi atasan atau bawahan. Dan sebagainya.
Fungsi
ini harus berjalan sesuai jalurnya.
Sosok ayah tidak berfungsi tanpa adanya ibu
atau anak.
Begitu pula pejabat tidak akan bisa menjalankan berfungsinya tanpa
warga.
Sedangkan atasan tidak akan bisa bekerja tanpa bawahan.
Manusia
bisa memikirkan sebelum menentukan mengambil hedonisme atau pragmatisme.
Dua hal
ini bisa dilakukan secara bersamaan.
Seseorang bisa menjalankan fungsinya dengan
kesenangan untuk mencapai kebahagiaan.
Labilitas mental manusia pasti
menimbulkan kejenuhan.
Tidak selamanya pejabat akan merasa senang menempati
posisinya.
Meskipun warga selalu memandang pejabat memiliki lebih banyak kebahagiaan
daripada warga.
Tidak
ada salahnya hedonisme dan pragmatisme dilakukan secara terpisah.
Suatu saat manusia
butuh pragmatis ketika berhadapan dengan orang lain.
Di sisi lain, manusia butuh
mencari kesenangan untuk menghilangkan kejenuhan.
Comments
Post a Comment